Cerpen Atanasius Rony Fernandez
NIAT itu muncul semenjak saya melihat Umaya duduk sembari berpegangan tangan dengan seorang lelaki di acara musik yang diadakan di warung kecil. Musik
mengalun menembus dinginnya malam yang saat itu tengah diterangi cahaya bulan
bulat penuh. Para penonton seperti terbius oleh musik
itu, tapi di telinga saya suara petikan gitar si penyanyi terasa
seperti ujung jarum yang menusuk gendang telinga saya
tepat ketika mata saya menangkap sosok Umaya yang kini
menaruh kepalanya ke bahu lelaki di sampingnya.
Pandangan saya hanya tertuju kepada Umaya yang kian
lama kian rekat dengan lelaki itu. Saya tak begitu mempedulikan suara-suara di
sekitar saya, suara-suara yang ditangkap oleh telinga saya
lebih mirip suara dengung lalat, dan dalam beberapa kesempatan terdengar suara
seperti gesekan biola yang tak beraturan, nyaring dan sangat tajam namun sayup-sayup
secara bersamaan, berputar di kepala saya.
Ada semacam bisul yang hendak meledak di dalam dada saya saat saya lihat tangan lelaki itu melingkar di punggung Umaya, menyibak dengan mesra rambut Umaya yang lurus panjang. Dan bisul itu terasa pecah
mengeluarkan nanah saat sekelebat saya lihat Umaya mengecup dengan gerakan cepat pipi lelaki itu, meninggalkan luka tak terlihat di dalam
dada saya, perihnya hampir membuat kantung mata saya
tak kuasa menampung air mata.
Tentu saja saya tak punya alasan yang cukup kuat untuk marah atau bersedih
melihat adegan itu. Saya bukan siapa-siapanya, dan bahkan Umaya
tak mengenal saya. Kami bertemu, atau tepatnya saya yang
melihatnya dua minggu lalu di tempat ini. Acara musik yang rutin diadakan setiap
malam minggu di warung ini senantiasa menghadirkan banyak orang yang tak saling
mengenal.
Pernah dalam sebuah kesempatan di warung ini,
ada seorang bule entah dari negara mana datang saat malam
minggu. Ia berbadan tinggi besar, berambut kriwil-kriwil mirip mie instan kering
berwarna merah dan agak lepek, ia berpakaian lusuh seperti khas para gipsy. Para penonton yang kebanyakan pribumi begitu terpukau melihat bule itu datang. Bule itupun diminta menyumbangkan lagu. Ia mau dan mulai
memetik gitar dengan sangat cepat dan bertenaga. Setelah mendengar petikan
gitar dan suaranya, telinga saya seketika terasa
seperti terkena pukulan godam.
Dan pukulan godam itu terasa sampai ke
dada saya
saat muncul niatan untuk membunuh Umaya. Dorongan
itu terasa begitu kencang saat mereka—Umaya dan lelaki di sebelahnya—kian rekat
seperti ada lem yang menyatukan pakaian yang mereka kenakan.
***
Saya menyeret kaki saya menuju dapur warung itu. Para pengunjung yang jumlahnya puluhan orang terlihat seperti
patung-patung pasir, yang dengan hembusan angin saja bisa
menghapus kehadiran mereka. Dari panggung sederhana, lagu sendu sedang didendangkan
mengiringi seorang penyair membaca puisi suram. Udara dingin terasa giris,
cahaya bulan seakan tertutup awan mendung musim penghujan. Tiba-tiba
penyair itu berteriak, menghentakkan langkah kaki saya
yang seketika melangkah dengan cepat menuju meja dapur dan mengambil pisau dan
dengan gerakan loncat seperti kecoa menuju tempat duduk Umaya menikam dada
kirinya hingga kaus ketatnya bersimbah darah. Dengan adegan supercepat melebihi kecepatan cahaya, semua adegan itu diakhiri
dengan suara
lolong penyair yang menyayat telinga.
Ah, seandainya saja itu dapat saya lakukan. Sayangnya tak ada musik suram
dan penyair muram, udara tak begitu dingin dan awan sedang cerah karena ini bulan Agustus, bulan di saat para pendaki
gunung berjalan menuju puncak gunung tanpa takut diserang hujan yang berlarut-larut.
Terlebih lagi, saya hanya berdiam diri duduk di bangku yang jaraknya tiga
rentangan tangan di belakang bangku Umaya. Khayalan tentu saja mudah dilakukan, karena hanya ada di dalam kepala saja.
Parahnya, semenjak saya melihat Umaya untuk
pertama kalinya
dua minggu lalu, saya seperti terhipnotis oleh kecantikannya. Rambut panjangnya
sudah barang tentu menggambarkan aura keanggunan, dan parasnya yang sangat cantik, mungkin jika bisa diibaratkan
mirip kecantikan Kleopatra yang bisa mengguncang keagungan Julio Cesar. Saat
itu, saya beruntung mendengar ia dipanggil dari
jarak yang cukup jauh, sehingga teriakan orang yang menyebut nama Umaya membuat saya bisa memastikan bahwa ia memang bernama Umaya.
Saya tak berani mendekat kemudian berkenalan dan meminta nomor hapenya
atau kontak-kontak lainnya, saya merasa tubuh saya
menciut menjadi batang korek api saat harus berdekatan dengan Umaya. Mau tak mau, setelah saya melihatnya untuk pertama kali, membuat saya menghabiskan waktu online saya—yang sangat lama—hanya untuk menelusuri seseorang yang bernama Umaya. Akhirnya saya temukan seseorang dengan wajah yang
mirip dengannya, dengan akun facebook bernama Umaya Aliani. Saya
seperti menemukan sebongkah emas dalam sekantung beras.
Emas itu benar-benar saya dapatkan setelah saya telusuri lini masa akunnya. Ternyata ia seorang penulis
puisi atau mungkin penyuka puisi, banyak sekali ia menulis puisi-puisi di akunnya dan mengutip puisi milik para penyair; kau lupa bagaimana cara membaca buku dan menembakkan peluru ketika duka
dan lara menyergapmu begitu lugu, ah, bagus sekali salah satu puisi yang dikutipnya itu.
Selain cantik, ia juga
penggemar puisi. Itu membuat saya kian tertarik. Foto-foto di akunnya saya salin
ke komputer jinjing saya, dan saban malam saya tatap gambar itu dengan dada
yang terasa memberat. Ia seolah hidup dan mewarnai mimpi-mimpi saya dengan
warna-warna yang tak pernah ada di muka bumi; asing dan tak mampu digambarkan.
Dada saya kerap kali
bergemuruh saban kali ia menulis atau melakukan apa saja di akunnya, membuat
saya bernafas lebih cepat dan berat. Tubuh serasa melayang-layang. Perjumpaan kita ialah perihal gelap dan
terang, aroma cuka dan luka berpapasan sehasta kira-kira. Itu pasti puisi untuk saya. Ia pasti menulis
atau mungkin mengutip dan ditujukan kepada saya. Sepertinya ia juga
memperhatikan saya saat pertama kali saya lihat, saya cukup yakin, karena waktu
itu mata kami sempat bertemu walau hanya kurang dari sedetik saja.
Mata saya kembali
tertuju kepada Umaya dan lelaki di sebelahnya. Saya benar-benar kecewa,
ternyata ia sudah memiliki kekasih. Saat saya menelusuri akunnya, ia tak pernah
menulis status berpacaran. Itulah yang membuat saya membencinya dan menimbulkan
keinginan untuk membunuhnya. Jika tubuhnya ditikam kemudian bersimbah darah,
lalu dipotong di setiap lekukan tubuhnya, tentu saja sebuah tindakan pembalasan
yang cukup tepat, bukan?
Hanya saja saya masih
kebingungan dengan cara melakukannya. Membunuhnya adalah satu-satunya cara
paling tepat untuk mengubur rasa cemburu. Saya memang terlihat begitu aneh
dengan memendam dendam pada orang yang tak saya kenal dekat dan tak memiliki
hubungan atau keterikatan yang menjadi alasan kuat mendendam. Tapi dalam setiap
urusan cinta, terkadang tak perlu banyak alasan dalam bertindak.
“Kamu mau ke mana?”
tanya orang di sebelahku.
“Mau pinjam pisau di
sana,” saya menunjuk dapur dan menjauhkan diri dari orang di sebalah saya itu.
Saya berjalan sedikit
terhuyung, suara seperti berdenging halus mengitari otak saya. Saya mengambil
pisau di dapur warung, tentu setelah berbasa-basi dengan pemilik warung yang
sudah cukup saya kenal.
Dunia terasa sedikit
berputar dan agak bergoyang setiap kali saya langkahkan kaki saya menelusuri
setiap hasta menuju tempat duduk saya tadi. Saya melangkah ke bangku kosong di
sebelah seorang perempuan berambut panjang. Deg,
di sebelah saya ternyata Umaya, dan saya sedang memegang pisau untuk
menikamnya. Sebenarnya saya hendak menikamnya dari belakang saat penonton mulai
bubar. Kenapa saya malah duduk membawa pisau di sebelahnya?
“Kamu kenapa bawa pisau
sampai berkeringat seperti itu?”
“Kamu Umaya?”
“Hah?” dahinya
berkerut, menjadikan matanya agak menyipit.
“Iya, kamu Umaya, saya
suka puisi yang sering kamu tulis di statusmu,” entah ada kekuatan apa yang
membuat saya begitu lancar dan nyaman berbicara seperti itu.
“Hei! saya kan memang
Umaya, pacarmu. Itu puisi-puisimu yang saya kutip, kan?”
Aduh, ia sangat pandai
berbohong. Saya benar-benar hendak menikamnya. Secepatnya. []
Fajar Sumatera, Jumat,
29 Januari 2016
No comments:
Post a Comment