Friday, January 29, 2016

Upaya Membunuh Umaya

Cerpen Atanasius Rony Fernandez


NIAT itu muncul semenjak saya melihat Umaya duduk sembari berpegangan tangan dengan seorang lelaki di acara musik yang diadakan di warung kecil. Musik mengalun menembus dinginnya malam yang saat itu tengah diterangi cahaya bulan bulat penuh. Para penonton seperti terbius oleh musik itu, tapi di telinga saya suara petikan gitar si penyanyi terasa seperti ujung jarum yang menusuk gendang telinga saya tepat ketika mata saya menangkap sosok Umaya yang kini menaruh kepalanya ke bahu lelaki di sampingnya.

Pandangan saya hanya tertuju kepada Umaya yang kian lama kian rekat dengan lelaki itu. Saya tak begitu mempedulikan suara-suara di sekitar saya, suara-suara yang ditangkap oleh telinga saya lebih mirip suara dengung lalat, dan dalam beberapa kesempatan terdengar suara seperti gesekan biola yang tak beraturan, nyaring dan sangat tajam namun sayup-sayup secara bersamaan, berputar di kepala saya.

Ada semacam bisul yang hendak meledak di dalam dada saya saat saya lihat tangan lelaki itu melingkar di punggung Umaya, menyibak dengan mesra rambut Umaya yang lurus panjang. Dan bisul itu terasa pecah mengeluarkan nanah saat sekelebat saya lihat Umaya mengecup dengan gerakan cepat pipi lelaki itu, meninggalkan luka tak terlihat di dalam dada saya, perihnya hampir membuat kantung mata saya tak kuasa menampung air mata.

Tentu saja saya tak punya alasan yang cukup kuat untuk marah atau bersedih melihat adegan itu. Saya bukan siapa-siapanya, dan bahkan Umaya tak mengenal saya. Kami bertemu, atau tepatnya saya yang melihatnya dua minggu lalu di tempat ini. Acara musik yang rutin diadakan setiap malam minggu di warung ini senantiasa menghadirkan banyak orang yang tak saling mengenal.

Pernah dalam sebuah kesempatan di warung ini, ada seorang bule entah dari negara mana datang saat malam minggu. Ia berbadan tinggi besar, berambut kriwil-kriwil mirip mie instan kering berwarna merah dan agak lepek, ia berpakaian lusuh seperti khas para gipsy. Para penonton yang kebanyakan pribumi begitu terpukau melihat bule itu datang. Bule itupun diminta menyumbangkan lagu. Ia mau dan mulai memetik gitar dengan sangat cepat dan bertenaga. Setelah mendengar petikan gitar dan suaranya, telinga saya seketika terasa seperti terkena pukulan godam.

Dan pukulan godam itu terasa sampai ke dada saya saat muncul niatan untuk membunuh Umaya. Dorongan itu terasa begitu kencang saat mereka—Umaya dan lelaki di sebelahnya—kian rekat seperti ada lem yang menyatukan pakaian yang mereka kenakan.

***

Saya menyeret kaki saya menuju dapur warung itu. Para pengunjung yang jumlahnya puluhan orang terlihat seperti patung-patung pasir, yang dengan hembusan angin saja bisa menghapus kehadiran mereka. Dari panggung sederhana, lagu sendu sedang didendangkan mengiringi seorang penyair membaca puisi suram. Udara dingin terasa giris, cahaya bulan seakan tertutup awan mendung musim penghujan. Tiba-tiba penyair itu berteriak, menghentakkan langkah kaki saya yang seketika melangkah dengan cepat menuju meja dapur dan mengambil pisau dan dengan gerakan loncat seperti kecoa menuju tempat duduk Umaya menikam dada kirinya hingga kaus ketatnya bersimbah darah. Dengan adegan supercepat melebihi kecepatan cahaya, semua adegan itu diakhiri dengan suara lolong penyair yang menyayat telinga.

Ah, seandainya saja itu dapat saya lakukan. Sayangnya tak ada musik suram dan penyair muram, udara tak begitu dingin dan awan sedang cerah karena ini bulan Agustus, bulan di saat para pendaki gunung berjalan menuju puncak gunung tanpa takut diserang hujan yang berlarut-larut. Terlebih lagi, saya hanya berdiam diri duduk di bangku yang jaraknya tiga rentangan tangan di belakang bangku Umaya. Khayalan tentu saja mudah dilakukan, karena hanya ada di dalam kepala saja.

Parahnya, semenjak saya melihat Umaya untuk pertama kalinya dua minggu lalu, saya seperti terhipnotis oleh kecantikannya. Rambut panjangnya sudah barang tentu menggambarkan aura keanggunan, dan parasnya yang sangat cantik, mungkin jika bisa diibaratkan mirip kecantikan Kleopatra yang bisa mengguncang keagungan Julio Cesar. Saat itu, saya beruntung mendengar ia dipanggil dari jarak yang cukup jauh, sehingga teriakan orang yang menyebut nama Umaya membuat saya bisa memastikan bahwa ia memang bernama Umaya.

Saya tak berani mendekat kemudian berkenalan dan meminta nomor hapenya atau kontak-kontak lainnya, saya merasa tubuh saya menciut menjadi batang korek api saat harus berdekatan dengan Umaya. Mau tak mau, setelah saya melihatnya untuk pertama kali, membuat saya menghabiskan waktu online saya—yang sangat lama—hanya untuk menelusuri seseorang yang bernama Umaya. Akhirnya saya temukan seseorang dengan wajah yang mirip dengannya, dengan akun facebook bernama Umaya Aliani. Saya seperti menemukan sebongkah emas dalam sekantung beras.

Emas itu benar-benar saya dapatkan setelah saya telusuri lini masa akunnya. Ternyata ia seorang penulis puisi atau mungkin penyuka puisi, banyak sekali ia menulis puisi-puisi di akunnya dan mengutip puisi milik para penyair; kau lupa bagaimana cara membaca buku dan menembakkan peluru ketika duka dan lara menyergapmu begitu lugu, ah, bagus sekali salah satu puisi yang dikutipnya itu.

Selain cantik, ia juga penggemar puisi. Itu membuat saya kian tertarik. Foto-foto di akunnya saya salin ke komputer jinjing saya, dan saban malam saya tatap gambar itu dengan dada yang terasa memberat. Ia seolah hidup dan mewarnai mimpi-mimpi saya dengan warna-warna yang tak pernah ada di muka bumi; asing dan tak mampu digambarkan.

Dada saya kerap kali bergemuruh saban kali ia menulis atau melakukan apa saja di akunnya, membuat saya bernafas lebih cepat dan berat. Tubuh serasa melayang-layang. Perjumpaan kita ialah perihal gelap dan terang, aroma cuka dan luka berpapasan sehasta kira-kira.  Itu pasti puisi untuk saya. Ia pasti menulis atau mungkin mengutip dan ditujukan kepada saya. Sepertinya ia juga memperhatikan saya saat pertama kali saya lihat, saya cukup yakin, karena waktu itu mata kami sempat bertemu walau hanya kurang dari sedetik saja.

Mata saya kembali tertuju kepada Umaya dan lelaki di sebelahnya. Saya benar-benar kecewa, ternyata ia sudah memiliki kekasih. Saat saya menelusuri akunnya, ia tak pernah menulis status berpacaran. Itulah yang membuat saya membencinya dan menimbulkan keinginan untuk membunuhnya. Jika tubuhnya ditikam kemudian bersimbah darah, lalu dipotong di setiap lekukan tubuhnya, tentu saja sebuah tindakan pembalasan yang cukup tepat, bukan?

Hanya saja saya masih kebingungan dengan cara melakukannya. Membunuhnya adalah satu-satunya cara paling tepat untuk mengubur rasa cemburu. Saya memang terlihat begitu aneh dengan memendam dendam pada orang yang tak saya kenal dekat dan tak memiliki hubungan atau keterikatan yang menjadi alasan kuat mendendam. Tapi dalam setiap urusan cinta, terkadang tak perlu banyak alasan dalam bertindak.

“Kamu mau ke mana?” tanya orang di sebelahku.

“Mau pinjam pisau di sana,” saya menunjuk dapur dan menjauhkan diri dari orang di sebalah saya itu.

Saya berjalan sedikit terhuyung, suara seperti berdenging halus mengitari otak saya. Saya mengambil pisau di dapur warung, tentu setelah berbasa-basi dengan pemilik warung yang sudah cukup saya kenal.

Dunia terasa sedikit berputar dan agak bergoyang setiap kali saya langkahkan kaki saya menelusuri setiap hasta menuju tempat duduk saya tadi. Saya melangkah ke bangku kosong di sebelah seorang perempuan berambut panjang. Deg, di sebelah saya ternyata Umaya, dan saya sedang memegang pisau untuk menikamnya. Sebenarnya saya hendak menikamnya dari belakang saat penonton mulai bubar. Kenapa saya malah duduk membawa pisau di sebelahnya?

“Kamu kenapa bawa pisau sampai berkeringat seperti itu?”

“Kamu Umaya?”

“Hah?” dahinya berkerut, menjadikan matanya agak menyipit.

“Iya, kamu Umaya, saya suka puisi yang sering kamu tulis di statusmu,” entah ada kekuatan apa yang membuat saya begitu lancar dan nyaman berbicara seperti itu.

“Hei! saya kan memang Umaya, pacarmu. Itu puisi-puisimu yang saya kutip, kan?”

Aduh, ia sangat pandai berbohong. Saya benar-benar hendak menikamnya. Secepatnya. []


Fajar Sumatera, Jumat, 29 Januari 2016

No comments:

Post a Comment