Friday, June 26, 2015

Anak-anak Kesayangan Tuhan

Cerpen Aris Kurniawan


KATA-KATA ibu kami benar belaka, di sini kami lebih baik. Bisa terbang seperti kupu-kupu yang tak menginginkan apa-apa lagi, termasuk ayam goreng. Kupu-kupu yang tak memerlukan bantal dan selimut untuk tidur. Untuk apa kami berebut ayam goreng, jika rasa lapar dan ingin itu sudah tak ada; kenapa pula harus berdesak-desakan di tempat tidur bila ruang tidak lagi berdaya mengurung kami. Kami mengepakan-ngepakkan sayap, meluncur ke sana kemari. Kami memang harus menahan sakit luar biasa sebelum sampai ke tempat ini. Tapi rasa sakit itu tak berlangsung lama. Hanya beberapa detik setelah ibu membenamkan kepala kami satu persatu ke dalam bak mandi.

“Mari, nak,” kata ibu kami sambil sambil membopong kami dan memasukkan kami ke dalam bak mandi yang airnya jadi meluber oleh tubuh kami, “tahan sebentar,” kata ibu kami lirih dan terdengar samar di telinga kami. Air matanya berlinang. Sejenak kami melewati ruangan yang sangat gelap setelah ledakan rasa sakit di dada kami lewat. Perlahan-lahan kami mendapati tubuh kami mengambang di ruangan sejuk dan lapang. Tangan kami saling bergandengan.

Sajak-sajak Kurnia Hidayati

Pebidik Tupai

angin
senapan
sepasang gaman

sebelum sampai perkebunan

dari hala utara pohon-pohon cokelat merapat
bagai barisan gelita yang menceritakan enigma
hantu penunggu kebun
yang diam-diam menepuk kuduk
jerit perempuan tanpa badan
menelisik telinga tatkala mendekati rawa

Friday, June 19, 2015

Bongkot Berlari Sepanjang Jalan(1)

Cerpen Syaiful Irba Tanpaka


BONGKOT berlari sepanjang jalan. Seperti seorang olahragawan yang membawa obor, ia melewati jala raya, melewati kota-kota, melewati kampung-kampung, melewati hutan-hutan, melewati pegunungan dan samudera. Berabad-abad ia berlari melintasi cakrawala.

Dengan nafas mendengus bagai kuda, Bongkot terus berlari sepanjang jalan yang bisa ia lewati. Pakaiannya yang semula rapih kini terlihat compang-camping tergores ranting-ranting. Tubuhnya yang semula bersih sekarang hitam kumal terbakar matahari dan dikarati debu. Tapi ia tidak peduli. Ia terus saja berlari. Berlari. Berlari. Heyyaaa...

“Apa yang kamu cari, Bongkot?” tiba-tiba terdengar suara bertanya di telinganya. Sambil terus berlari Bongkot menjawab.

Sajak-sajak En Kurliadi Nf

Kampung Kombang

begitulah kisah kampung ini sekarang
tentang tanah subur dan gembur
lagu-lagu ombak pengantar nelayan
supaya aku tahu,
hidup begitu bernafas dari keringat
airmata

tembang-tembang nemor
nyanyian dadali bersarang di jantung nadimu
perjalanan tidak berhenti disini saja
begitu melihat ke laut
di atas gelombang dan peluh badai
ada seorang laki-laki: ayah dari
anak-anak yang berlarian di ujung pesisir
sedang bertaruh nyawa demi serumpun senyum
yang sedang mereka istimewakan saat senja bertandang
di ruang tamu dan mimpi
yang menetas jadi rembulan

2013

Friday, June 12, 2015

Nicodemus van der Plas

Cerpen Arman AZ


BUKAN sekuntum mawar yang kubawa untuk Nicodemus van der Plas, melainkan sesobek kertas dari pengurus kompleks makam Kembang Kuning. Tulisan tangan bertinta hitam di kertas itu berisi petunjuk letak rumah terakhirnya. Tak ingin buang waktu percuma, aku bergegas ke tempat semula, diiringi hati yang bungah.

Pagi tadi aku tersesat berjam-jam di tengah makam Peneleh. Bagai mencari seutas jerami di tumpukan jarum, bukan mudah mencari sebuah makam di antara ribuan makam. Entah bakal makan waktu berapa hari untuk membaca setiap epitaf demi menemukan nama Nicodemus van der Plas. Kuncen uzur berbadan bungkuk ringkih itu pun bingung saat kutanya letak makam yang kumaksud. Dia akhirnya menyarankanku ke Kembang Kuning. Di sana terdata lengkap; nama dan kode makam para penghuni Peneleh. 

Di bawah sengit matahari kususuri tanah kering di antara makam-makam yang berderet rapi. Jika bukan karena penasaran yang akut, aku pasti berpikir tujuh kali untuk menyambangi tempat ini. Dalam kompleks seluas hampir lima hektar terbaring ribuan orang Belanda. Tiap makam diberi kode untuk memudahkan pencarian. Gubuk-gubuk liar berderet di sisi kiri, menempel dengan tembok dan jeruji pagar. Jemuran tergantung di makam-makam berpagar besi. Kaos, kain sarung, daster, sempak, dan kutang melambai ditiup angin kemarau. Ayam dan kambing sekehendak hati hilir-mudik, ada pula yang leyeh-leyeh di makam beratap seng.

Sajak-sajak Anam Khoirul Anam

Sketsa Retas

Tak perlu berandai-andai perihal waktu
yang terus berlalu di kepalamu. Sebab ia
akan terus berlalu dalam detak jantung
lalu berlalu terbenam dalam imajimu.

Sebagaimana ia menunjuk perhitugan
dengan tepat lewat gigil tubuhmu.
Berputar naik turun, melingkar bak ular

Embus nafas lembutmu menggesek lonceng
hingga lahirkan denting ritmis. Lalu kita sama-sama
pulas di atas alas kertas dengan seketsa retas.

Yogyakarta, 25 November 2013



Friday, June 5, 2015

Tumang

Cerpen Isbedy Stiawan ZS


MATAHARI tidak begitu menyengat.  Sungai yang membelah wilayah jadi dua bagian: way  kiri dan way kanan, arusnya amat tenang. Ikan-ikan, terutama gabus, baung, dan jenis lainnya, berenang di permukaan air.

Kami adalah satu puak  yang berdiam di tepi sungai ini. Persisnya di sekitaran Tanggo Rajo yang megah. Sebuah bangunan untuk prosesi adat, bagi puak . Kami hidup berjejer membelakangi sungai.

Inilah awal kampung kami. Sebuah kampung yang dititiskan lahirnya seorang raja bernama Minak Mangkubumi. Dari Minak Mangkubumi ini kemudian melahirkan tiga putra. Satu lelaki yang diwariskan segumpal tanah mendiami Pagardewa, namanya Minak Kemala Bumi yang melanglangbuana ke Pesagi, Banten, hingga Mekah.

Sajak-sajak Budi Hatees

Penepik
Aku hanya selembar kain
tak baru, tak pula lusuh
melekat di tubuhmu

Kau kenakan aku, 
penutup indah dada
dan bunting putih betismu
ketika bulan bakha
memancarkan pesona
warnanya

di halaman. pada malam
saat gamolan berdenting
mengikuti rampak tari melinting
dan angin tak dingin