Friday, November 27, 2015

Gelombang Burung-burung

Cerpen Tjak S Parlan

BARDEM membuka jendela kamarnya. Di luar, cuaca lebih nyaman dengan gerumbul-gerumbul awan seputih kapuk, dilatari biru langit pada angkasa yang terbuka. Sinar matahari yang lebih teduh, memberikan kilau pada bulir-bulir air sisa hujan yang tertambat di rerumputan dan reranting perdu.

Angin menjelang sore terasa segar. Meski begitu, Bardem tak ingin membiarkan dirinya keluar rumah tanpa jaket dan sepatu boots. Baru sehari  ia terlepas dari serangan demam. Lagi pula ia tak mau repot-repot mendengarkan seisi rumah mengomeli dirinya.

Di rumah sepi. Pak Brandon—ayahnya Bardem—pasti sedang mengawasi kuda-kudanya di dekat bukit. Bu Sophia— ibunya Bardem—mungkin sedang di istal, mengerjakan apa saja seperlunya: membersihkan kotoran kuda, memukul-mukul sesuatu dengan palu, menyapu, apa pun, Bu Sophia selalu begitu –atau mungkin di rumah Bibi Maria, menemaninya menyulam. Dan, Minka? Minka datang lagi rupanya. Ini liburan kedua kalinya setelah setahun lalu Minka tinggal lebih lama di rumah Bibi Maria. Minka selalu senang mendengar Bardem bercerita tentang burung-burung.

Sajak-sajak Christian Heru Cahyo Saputro

Pasar Gudang Lelang

rembang fajar di gudang lelang
layar terlipat perahu berjajar
sandar melego jangkar
hiruk pikuk pedagang, tengkulak, juragan
dan teriakan juru lelang
memecah pagi yang gigil
:  lamat-lamat terdengar suara anak-istri memanggilmanggil
   semalaman doa dan harapan  mereka dedahkan padaMu

pagi ini,
setelah semalaman mengakrabi laut
berpeluh melempar sauh
ikan-ikan segar numpuk berjajar
dikera juru lelang
ditukar uang

Friday, November 20, 2015

Nadran

Cerpen Aris Kurniawan


BAGIKU tak ada yang menarik di kampung kelahiranku. Kampung yang selalu tampak berantakan dan bau amis. Di setiap rumah selalu mengonggok tumpukan jala, jaring-jaring untuk menangkap ikan, bentangan terpal yang membuat sumpek. Ditambah tali jemuran pakaian yang malang melintang bagai karnaval tujuh belasan. Jika hujan lorong-lorong di kampungku tak ubahnya kubangan kandang babi berwarna hitam. Tanpa alas kaki kami lalu lalang di sana, di antara lapak-lapak yang terbuat dari papan dan bambu dengan terpal sebagai atapnya yang sewaktu-waktu bisa terbang dihempas  angin. Hampir seluruh tetanggaku—termasuk ibuku—adalah penjual ikan. Mereka menghamparkan ikan-ikan—baik ikan segar maupun ikan asin—di lapak pinggir jalan. Teriakan menawarkan dagangan, tawar menawar, deru kendaraan adalah kebisingan khas yang kami nikmati saban hari. Suami-suami mereka—termasuk ayahku—setiap malam bekerja di lautan menangkap ikan.  


Sajak-sajak Naim Emel Prahana

Tamu Kesepuluh
- bumi dan bencana

Pagar bambu
di jalan debu
lelaki memburu
bulan tertutup asap
di percakapan rindu
buruan diskon

lalu pagi itu
duduk di depanku
pemburu berlari
lupa harinya
jemari yang sibuk
ingatkan penghuni
penari pagi
bumi dan bencana

Friday, November 13, 2015

Rumah Masa Lalu

Cerpen Risda Nur Widia


USAI pensiun sebagai guru sekolah dasar Lasmi menetapkan hati untuk tinggal pada sebuah desa di pinggiran kota Rangkasbitung. 60 tahun ia saat ini. Genap usia yang tak lagi bertenaga, tetapi matang pendirian untuk memastika pilihan hidup kalau: ia hanya ingin menghabiskan sisa umurnya pada sebidang tanah yang dibelinya dahulu dengan harga murah. Tak terlalu luas memang. Namun di sanalah ia mendirikan sebuah pondok kecil. Sederhana. Penuh dengan kenangan. Dan pintal harapan masa tua yang menenangkan.
   
Ada sebuah nisan orang tercinta di belakang rumah itu. Makam suaminya. Lasmi menguburnya di bawah pohon gandaria; pohon tua yang telah ada sebelum Lasmi membeli tanah tersebut. Sejuk tempatnya. Sering pula Lasmi menghabiskan waktu luang hanya untuk duduk di sana sembari memerhatikan cakrawala. Apalagi ketika malam musim kemarau. Betapa angin begitu berharga; langit berdandan gulita dengan beribu-ribu intan; derik-derik serangga malam; dengung suara anak-anak kecil yang mengaji di surau. 


Sajak-sajak Muhamad Arfani Budiman

Partitur Senja

dalam alunan senja
jemari angin menjatuhkan
daun-daun di taman lalu rindu
bermuara pada bayang wajahmu
yang melompat dari balik cermin
inikah kesedihan bergelombang
tanpa batas dengan jemarimu
kau usap setiap potret waktu
ruap doa bergema dalam lorong sunyi
menyusup dalam riak-riak cahaya

2015



Friday, November 6, 2015

Yang Semakin Hilang

Cerpen Yuli Nugrahani


SEBELUM aku bertemu Rino, aku sangat suka berada di sekitar Bioskop Megaria. Gedung putih ini selalu menarik, entah untuk melewatinya, nongkrong di depannya, atau apa saja. Melihatnya saja sudah membuatku seperti kembali pada masa lalu, pada saat semangatku masih utuh untuk menggerakkan tubuh mudaku.

Aku tahu sejarah Megaria karena tempatnya dekat dengan rumah tinggalku. Banyak orang bilang aku ngawur mengarang cerita, tapi sungguh, aku bicara sebenarnya jika aku bilang aku tahu tentang hal ikhwal gedung ini.  Kakek buyutku adalah pemilik sebagian tanah di mana gedung itu dibangun. Walau aku tidak bisa menunjukkan buktinya, tapi memang begitulah kebenarannya.

Sajak-sajak Hudan Nur

Ekspeditor Laut Cina Selatan

hati manusia sudah disekap megalumbago di musim kemarau. anak-anaknya tumbuh menjadi berhala. setiap pagi mereka ke utara melarung masa lalu. cuaca seperti cerita nenek moyang yang telah punah.

inilah kabar hari esok bagimu, bunga liar. satu dari mereka mengirim surat kepada hari, mereka ketuk pintu langit dan menyaksikan senja yang mabuk dan gagal mencumbu rembulan. adalah kau kilang purba yang selalu lingsir dikecai gerimis kelelakiannya.