Friday, October 30, 2015

Berpisah dengan Butet

Cerpen Budi Hatees


KITA akhirnya terpisah meskipun tidak menghendakinya. Perpisahan itu berlangsung bertahun-tahun hingga saya tidak lagi punya keyakinan bahwa suatu saat kita akan bertemu. Saya pun tidak lagi mencarimu ketika pada hari yang cemerlang itu kau muncul di halaman rumah dengan niat hendak membeli salah satu lukisan yang saya buat. 

Hari itu, 1958 pada almanak. Kau pergi ke kanan, saya bergerak ke kiri.  Saya ingin ke kanan, tapi sebuah kekuatan memaksa agar saya ke kiri.  Kau tahu kekuatan itu?  Moncong senapan SS diarahkan ke punggung saya. Saya tahu tak ada peluruh pada magazin, tapi saya ketakutan bukan main. Bukan karena senapan serbu itu, tapi karena orang yang memegangnya, yang mengarahkan moncongnya ke punggung saya, adalah Ja Soimbangon.


Sajak-sajak Tjahjono Widarmanto

Delapan Esai: Percakapan tentang Puisi
*) mengenang Seamus Heaney

1/
tempayan selalu menyediakan perutnya menampung segala air
demikian pun puisi menyediakan baris dan baitnya menampung
air mata luka dan duka kehidupan yang tak sekedar jasmaniah
menampung segala ketegangan dan kejemuan antara yang kuno dan baru

2/
setiap kali puisi disabdakan ia akan menetes bagai air
kadang lembut dan hening melampaui isyarat meditasi
menanggalkan dahaga dan menyiram mekar bunga
kadang pula bagai badai yang gelisah menampar pantai
mengguncang benda-benda menghempaskan teka-teki

Friday, October 23, 2015

Sementara Tiga Orang Terus Bersama

Cerpen Bayu Pratama

MAMA terus berteriak dan Nani terus menangis sementara di tempat yang lain Marko terus menghela napas dengan sangat berat.

Mama sibuk memungut pecahan kaca yang berserakan di lantai. Telunjuk tangan kirinya sobek, dari sana darahnya yang merah segar menetes mengotori lantai yang putih –seputih kebohongan Nani. Nani menjongkok di sebelah Mama, bimbang antara ikut memungut pecahan kaca atau menyeka keringatnya. Toh Mama sebenarnya tidak peduli pada hal itu, tapi Nani tetap bimbang sementara Marko terus menghela napas dengan sangat berat di tempat lain.

Nani tidak merasa bersalah. Manis (kucing peliharaan di rumah ini) berlari seperti biasa dan Nani hanya ingin bermain dengannya. Dia melempar bola dan gulungan benang wol, sampai tidak sengaja melemparnya ke dekat meja. Sebuah foto keluarga menunggu di sana, terlihat lama dan tanpa warna. Manis yang kehilangan kendali tubuhnya menabrak kaki meja dengan sangat lucu –ah, betapa lucunya kucing itu. Foto tanpa warna itu terjatuh. Nani tahu, Mama akan meneriakinya jika melihat hal itu. Tapi Nani tidak merasa bersalah. Manis sepantasnya bermain dengan lucu, jika tidak lucu maka dia lebih baik menjadi kucing pasar saja. Burik dan bau. Sesuatu yang lucu memang dibutuhkan di mana saja, termasuk di dalam sebuah keluarga, tanpa perlu peduli apakah dia merusak sesuatu atau tidak.


Sajak-sajak Isbedy Stiawan ZS

Tak Ada Esok di Kalendermu

seperti tak ada esok
di kalendermu yang sobek
maka kau bikin lagi
tanggal dan hari -- kau
abai membubuhi
waktu -- sehingga
jam tak mencatat
kematian ini. lalu senja
semakin lamur. asap
mengabut. pandangmu
mulai padam

Friday, October 16, 2015

Kakek Buta dan Kucingnya

Cerpen Gunawan Tri Atmodjo

DI pengujung mataku yang rabun, seekor anak kucing mendatangi rumahku. Anak kucing berkelamin jantan dan bermotif kembang bengok alias loreng-loreng kelabu, hitam, putih itu masih liar. Aku memberinya daging ayam secara berkala dan lama-kelamaan kucing itu menandai kebaikanku. Ia mengakrabiku dan menjadi hewan piaraanku.

Anak kucing itu menjadi teman bagi kesendirianku. Ia menyelamatkan sisa hidupku dari kesepian. Ketika kau sudah tua dan sebatang kara, kesepian bisa terasa sangat kejam. Tentu aku tak kesepian saat isteri dan anakku masih hidup. Akan kuceritakan sedikit kepadamu mengenai mendiang isteri dan anakku.


Sajak-sajak Imelda Matahari

Sore Itu di Sumur Batu

Mataku masih menatap Sumur Batu
Entah sumur berbatu
Atau batu bersumur

Di sini wangi tanah pertama kali kuhirup
Dari balik jendela
Setiap pagi dan senja

Sore yang belum terlalu gelap, setelah 20 tahun
Seketika mataku tertumbuk bebatuan di Sumur Batu

Friday, October 9, 2015

Kisah Terompah

Cerpen Tjak S Parlan


IA masih menyimpan benda itu: terompah usang yang pernah membekaskan luka jahit di keningnya. Itu sore hari, ketika ia berteriak girang memanggil Mak. Ia merasa kehausan sehabis mengejar layang-layang bersama kawan-kawannya. Haus yang seperti itu alangkah nikmatnya jika dibawa menikmati es cendol yang selalu mangkal di dekat jembatan.

“Mak, bagi uangnya. Haus sekali, Mak!”

Mak sedang berselonjor di dipan. Di keningnya menempel selembar obat koyo. Sudah berhari-hari Mak seperti itu. Mak sering mengeluhkan kepalanya— pening, berputar-putar.

“Mak, mau es cendol.”


Sajak-sajak Edi Purwanto

Saat Paling Puitis

saat paling puitis
ketika cinta
disapa luka
airmata
menjelma kata

saat paling puitis
ketikadosa
menulis raga
kesilapan
menjelma doa

2015


Friday, October 2, 2015

Rumah yang Terbelah

Cerpen Mashdar Zainal


JENNY tak bisa berhenti memikirkan Mama dan Papa yang selalu bersikap aneh satu sama lain. Mama sangat menyangi Jenny, Papa juga sangat menyayangi Jenny, tapi Mama dan Papa tak pernah bisa menyayangi Jenny secara bersamaan.

Rumah kecil itu dihuni tiga orang: Mama, Papa, dan Jenny. Di rumah itu ada tiga kamar, satu kamar utama—yang seharusnya menjadi kamar Mama dan Papa, satu lagi kamar untuk Jenny, dan satu lagi kamar untuk tamu. Papa lebih suka tidur di kamar tamu atau kamar Jenny sesekali, daripada tidur satu kamar dengan Mama. Jenny tak ingat kapan terakhir kali Mama tidur satu kamar dengan Papa. Tapi Jenny ingat—Jenny tak akan pernah lupa pada kejadian malam itu, malam ketika di rumah terjadi keributan antara Mama, Papa, dan Om Danar.


Sajak-sajak Robi Akbar

Ibu
Ibu di sinilah kami berdiri
Dengan kerontang perut yang nyaring seperti kendang
Dengan tangis bayibayi yang terlahir dalam beban hutang

Ibu di sinilah kami berdiri
Menyanyikan nasib sial
Dan ulah anakanakmu yang nakal
Kami kencing sembarang
Yang lainnya kencing berlari dan tungganglanggang

Ibu di sinilah kami berdiri
Di gembur subur tanahmu
Yang tak dapat lagi kami tanami
Bahkan sekadar ketela ataupun ubi
Kami akan nyanyikan lagumu dengan Irama busung lapar
Retak tulang dan mayat terkapar