Friday, September 4, 2015

Tanah Lahir

Cerpen Ida Refliana YH


DI tanah itu kecemasan seperti udara yang dihirup tiap waktu. Cemas dari rasa takut dan sesal. Penyesalan yang menitiskan jejak begitu mayat sudah dikubur sebagai kematian sia-sia—mati pasrah di ujung peluru—mati ketika hamparan ladang tak punya ketela dan segala umbi untuk ditanam.

Kota kenangan itu bernama Ainaro. Ia tumbuh sebagai distrik yang dihiasi gunung-gunung dengan belantara hutan, tentu saja ai abu1 yang muncul menjelang senja atau saat subuh benar-benar letih dan membagi tugasnya pada siang. Dan, Maubisse, yang menyimpan tak terbilang senyum Inan2 dan sepasang mata elang Aman3. O, adakah waktu sudi mengembalikan kenangan? Aku rindu aroma rempah di kulit Inan, perempuan berpipi lesung yang sering menyulap segenggam kacang merah jadi semangkuk koto4, begitu nikmat. Tidak ada koto selezat buatan Inan. Sesungguhnya Inan bukan hanya wanita dapur yang pandai memasak. Bersama Aman ia mampu menyiapkan berbatang-batang kayu menjadi puluhan tombak atau panah dan busur (bagi desa Maubisse setiap orang wajib menguasai keduanya).


Tapi Inan mengerti kalau darah permusuhan di tubuh Aman tak pernah mengalir padaku. Ia kerap melindungiku dari kemarahan laki-laki beralis tebal itu. Namanya Belmiro. Sejak ibu melahirkan adik perempuanku satu-satunya, saat itu umurku 11 tahun, Belmiro hampir tidak pernah pulang ke rumah kami. Kata Inan, pria itu sedang menyiapkan kemerdekaan bagi tanah lorosae5 Semestinya ia bangga memiliki Juan Belmiro. Bukan amarah dan wajah kusam yang dibawa tiapkali  pulang dari pertemuan-pertemuan yang ia buat bersama kelompoknya di suatu tempat rahasia. Entah apa yang dikerjakan Belmiro di sana?

Mula-mula ia mengomel panjang lebar tentang dua abangnya yang memilih tinggal di Ermerah mengurus kebun kelapa dan tanaman ubi jalar. Kata ayahku, perjuangan hidup yang paling utama adalah mempertahankan harga diri. Seseorang dianggap tidak berharga jika tidak memiliki sejarah kehidupan dan tanah lahir. Laki-laki tidak pantas jadi pemimpin kalau hanya diam membiarkan tanah moyang dikuasai orang asing. Aku tidak mengerti waktu itu. Yang kuingat Belmiro membawa pedang dan panah ke halaman rumah kami. Aku harus mengikuti semua gerakan yang dilakukan ayahku. Gerakan seperti orang menari dan melakukan upacara sesembahan kepada para dewa. Tentu saja sambil membawa tombak dan busur.

Dua tiga kali aku harus mengulang gerakan yang ia tunjukkan. Tapi yang kubuat selalu salah. Tombak dan panah yang dilesatkan ke dahan pohon tidak pernah menancap dengan sempurna. Maka Belmiro pun naik pitam. Ia lantas menghentikan latihan kami. Dibawanya tombak dan busur ke dalam rumah, dikaitkan di dinding tempat biasa ia meletakkan.

Sedangkan aku masih berdiri di halaman sambil memandang arah pintu rumah kami. Aku tidak akan pergi sampai Belmiro mengizinkan, tentu setelah ia puas berceracau membanding-bandingkan aku dengan anak-anak teman seperjuangannya.

Orang-orang di Maubisse sangat menghormati ayahku. Kami punya tanah perkebunan yang luas, tapi (di sana) hanya segelintir orang yang ingin menggarap tanah. Kebanyakan para lelaki mengikuti jejak Belmiro. Bagi mereka kelahiran dan kematian sama penting dengan tanah kelahiran. Kehormatan leluhur yang harus dijunjung tinggi. Dan perang sudah mengubah rasa lapar menjadi rasa benci. Mereka lebih memilih menumpahkan darah daripada mengurusi ternak babi, kebun kopi, dan menabur benih-benih di tanah lapang. Siapa sebenarnya musuh? Kami tidak tahu.

Suatu hari kebahagiaan keluarga kami direnggut sekelompok  orang-orang bersenjata yang datang menculik Aman. Masih sore waktu itu, di kamarnya Inan hatoba bebe6. Dores baru dua tahun di saat ayahku diseret-seret lalu ditancapkan hunusan tombak berulang-ulang di perutnya.

Aku bersama Ibu yang menggendong Dores berlari menyelamatkan diri ke dalam rimba Ramelau.

***

Juan Belmiro dan keindahan Ramelau sebagai kenangan. Adakah kau lahir ditakdirkan untuk melepas tanah lahir?

Rimba liar di kaki Ramelau membuat kami lebih cerdik dari hewan melata. Setiap saat kami harus bersiaga mata, telinga, dan daya penciuman. Rumah kami adalah semak-semak belukar, atau lubang-lubang dinding bukit yang harus digali dengan sabar. Meski lubang yang dibuat hanya cukup sebatas berbaring, aku dan Dores selalu lelap di pelukan Inan yang selalu terjaga.

Siang hari Inan sering meninggalkan kami dalam goa. Batu-batu dan ranting semak belukar dipasang untuk menutup pintu goa, sore hari Inan baru kembali membawa banyak makanan untuk kami yaitu ubi talas, kecapi, manggis, burung, kelinci, tupai,

Dengan bersemangat aku membuatkan api unggun, lalu menyiapkan makan malam kami. Sementara Inan mendekapi Dores. Hari itu adikku sedikit rewel karena panas tubuhnya mendadak tinggi, dan kadang lebih dingin dari udara Romelau di malam hari. Sesungguhnya tubuh kami sudah terbiasa menghadapi cuaca terburuk sekali pun. Inan cukup paham bagaimana memanfaatkan tumbuh-tumbuhan liar untuk dijadikan obat.

‘’Kita harus melanjutkan perjalanan,’’ kata Inan keesokan hari.

Senyum Dores melesat dari balik punggung ibuku. Tubuh kecil hitam yang dijaga kain tais7, satu-satunya peninggalan Belmiro yang terbawa selain kami berdua.

‘’Hau8 sudah letih, Inan. Ke mana lagi kita pergi?’’

‘’Tidak ada tempat aman di sini. Kita harus bisa menemukan pantai.’’

‘’Kenapa harus ke sana?’’

‘’Nanti setelah besar kamu akan mengerti. Di dalam hutan ini kau hanya akan menemukan kegelapan.’’

Ibu terlihat kuyu. Kulit gelap berkilat di wajahnya menyempurnakan keelokan mata yang memancar amarah. Kemarahan Inan tentu saja pada orang-orang yang sudah menghabisi jiwa Aman. Dendam itu menggurat di lekuk tulang pipinya. Sebab itukah ia kuat menanggung diam? Tidak ada air mata sedikit pun saat ia terlihat putus asa padahal medan berat harus kami lalui. Mendaki setapak terjal, menuruni tebing curam, kadang kami terperosok dan jatuh di kubangan lumpur, lalu dengan tombak di tangannya ibuku membelah berlapis-lapis rimbunan semak. Pepohonan seakan tak ada habisnya menghadang langkah-langkah kaki. Nyawa kami bisa terputus suatu waktu. Gerombolan orang-orang pemberontak mungkin akan lompat dari atas rimbunan pohon, lalu menyergap, membunuh dengan kejam. Memenggal kepala, merobek-robek perut lawan, seakan begitulah cara mati yang pantas terhadap pembangkang. Demi tanah lahir. Begitulah doktrin yang disusupkan kepada kaum militan tersebut. Siapa musuh sebenarnya? Tidak tahu.

Hutan di kaki Ramelau memberi kegelapan yang menakutkan. Aku tidak pernah melupakan kejadian itu sampai hari ini. Di tepi sungai yang keruh setelah kami tiba di wilayah hutan berikutnya, tujuh laki-laki berseragam aneh menghadang langkah kami. Dua orang menyeret Ibu menyebabkan Dores jatuh di rerumputan. Suara tangisan Dores bersanding dengan rintihan pedih ibuku. Dua laki-laki berikutnya membekap mulutku. Para bajingan itu memerkosa ibu secara bergantian.

Pengecut dan bajingan! Kesimpulan itu tidak ubahnya diriku seperti mereka yang menguasai tubuh ibuku. Kenapa keadaan genting saat itu baru kuingat pesan Aman? Ayah sangat berharap aku bisa menguasai ilmu beladiri. Tapi semua sudah terlambat. Aku tidak ingat lagi setelah mereka memukuli wajahku. Ke mana Inan pergi? Juga Dores? Duniaku lumat di hari itu. Kenapa aku tidak mati saja?

***

Orang-orang seperti kami menjalani hidup seperti ikan-ikan di sungai yang bertemu laut. Kami berenang di tepian saja, atau di kedalaman air yang tiada berderu ombak. Sebab jika harus menentang arus, pasti terseret ke tengah laut, lalu kami mati. Itukah yang dimaksud ibuku tentang laut?

Konflik perang di tanah lahir mencapai puncaknya saat ribuan orang diungsikan. Aku tidak ingat lagi kejadian pahit di tengah hutan Ramelau. Pasukan berseragam militer menemukan diriku dalam keadaan pingsan. Dua hari setelah dirawat dari luka-luka dan kelaparan di base camp darurat, selanjutnya aku dipertemukan dengan puluhan orang-orang yang menunggu giliran untuk masuk ke pintu sebuah kapal besar. Suara pluit kapal terdengar berulang-ulang begitu tiba di atas dek penumpang yang dijejali manusia. Tak ada yang kukenal dari ratusan orang-orang yang menunggu nasib tidak tentu. Tapi orang-orang dewasa berpakaian militer, berpakaian serba putih, begitu ramah dan bersahaja melayani kami. Berkali-kali pula suara nahkoda  di kapal perang itu menyebut-nyebut tanah Jawa sebagai daerah tujuan. Katanya, itulah tanah harapan.

Begitu banyak jumlah pengungsi, namun tidak seorang pun yang kukenali. Dari sisi anjungan aku merasakan pedih melihat kapal kami meninggalkan kepulaun Timor.

***

‘’Inilah tanah airmu. Tempat kau berjuang sekarang. Tempat kau hidup dan mati, dan di sinilah cinta itu,’’ di bawah siraman cahaya bulan kusudahi cerita, ditemani sepiring rebusan ubi talas, kopi yang hampir dingin, dan kepulan asap rokok.

Miquel, menatap dalam ekspresi wajah yang tenang. Dia menyembunyikan kepedihan pada bola mata yang tak ingin dipandang. Kusediakan malam yang tepat baginya menelusuri jejak suram keluarga. Bukan untuk dikenang sebagai kebencian. Miquel tentu tidak seburuk diriku. Mungkin jauh lebih baik dari Belmiro. Setelah rencana besar yang ingin dilaluinya esok hari.

‘’Kenapa Ayah baru cerita sekarang?’’

‘’Agar kau tahu ada jiwa ksatria dalam darahmu. Akhirnya aku bisa membayar kesalahanku pada kakekmu.’’

‘’Ini lebih menyakitkan dari cerita kematian ibuku.’’

‘’Kau masih lebih baik dari aku, Miquel,’’ aku menghiburnya. Setidaknya seperti itu. Meski ia tidak pernah merasakan sentuhan dan pelukan ibunya yang meninggal setelah melahirkan.

‘’Ya, Ayah, aku akan pegang kata-katamu itu. Dan kau benar bahwa tidak ada hari yang paling sempurna kecuali peristiwa besok hari,’’ Miquel berdiri. Senyumnya terlihat bahagia memandangi kotak berisi cincin belah rotan. Disimpan kembali ke saku bajunya. ‘’Aku harus tidur lebih awal, agar terlihat tampan dan segar besok hari.’’

Dan sebelum hilang di pintu rumah kudengar suara Miquel,’’Semoga aku lebih beruntung dari Juan Belmiro.’’

Ya, itulah yang kulihat. Ia jauh lebih baik dariku. Dia akan memandu pasukan upacara di hari kemerdekaan besok. Marinir berpangkat Letnan Satu itu anak seorang penjaga palang pintu kereta api. Dan sore harinya dia akan melamar pacarnya. n

Catatan:
Yang tertulis miring merupakan bahasa Tetun (Tetum)
1. Ai abu  : kabut
2. Inan    : ibu
3. Aman    : ayah
4. Lorosae : matahari
5. Hatoba bebe: menidurkan bayi
6. Tais    : nama kain tenun
7. Hau     : saya


Fajar Sumatera, Jumat, 4 September 2015

No comments:

Post a Comment