Friday, June 5, 2015

Sajak-sajak Budi Hatees

Penepik
Aku hanya selembar kain
tak baru, tak pula lusuh
melekat di tubuhmu

Kau kenakan aku, 
penutup indah dada
dan bunting putih betismu
ketika bulan bakha
memancarkan pesona
warnanya

di halaman. pada malam
saat gamolan berdenting
mengikuti rampak tari melinting
dan angin tak dingin

Serupa para muli
kau membelitkanku
di tubuhmu
untuk menandaimu
di tiap tempat, di tiap saat
mekhanai itu melirik ke arahmu
memujimu
memuji kita

dan terkagum. tapi kemudian malam itu,
kau tinggalkan aku
dan mengikuti mekhanai itu
pergi

Lalu seseorang menemukanku
di atas bantalmu, dan berlari
ke ruang tamu,
mengadu:
“Muli kita telah pergi
meninggalkan penepik ini.”

Aku hanya selembar kain
tak baru, tapi sangat lusuh
tak seorang pun memakaiku
tak juga kau.


Penepik: Tanda berupa kain yang ditinggalkan calon pengantin perempuan jika pergi kawin lari (sebambangan) dalam adat Lampung.



Di Way Tebu
: oky sanjaya

Di Way Tebu,
di air bercabang pitu
di tiap tepi menghijau rerumpun perdu
dan burung-burung datang berlagu
tentang langit biru,
tentang hati yang haru

Tak jauh dari sana,
bongkahan batu-batu
disusun, ditata, entah oleh siapa
pada masa lalu. menghadap kepadaku
pesagih dengan puncak yang menyimpan cerita
tentang kelahiran, entahlah,
mungkin kedatangan
orang-orang yang kemudian jadi hikayat
melarung jukung di air jeram dan menepi
di tanah-tanah landai,
lalu tercipta riwayat

di Way Tebu. di bebongkahan batu-batu
sesajen diletakkan,
hajat dinobatkan,
doa diuntai

seperti merjan. setiap butir adalah hari yang baru
menyimpan wajah jernih pagi
yang datang membawa seri

di Way Tebu.


Way Tebu: nama sebatang sungai di Lampung Barat, yang mengalir dari Gunung Pesagi (gunung yang diyakini masyarakat Lampung sebagai asal mula masyarakat Lampung).




Laron

Cahaya  yang  sampai ke kornea  matanya
seperti sebatang tongkat sihir,  melemahkan
seluruh sendi. urat-urat sayap hilang  syaraf,
mengepak, bergerak perlahan-lahan
bagai  ditarik  medan  magnet,  diisap,  lalu

lesap ke dalam nyala.  pada binar dan pendar
yang meliuk-liuk ditiup angin. tubuhnya
mengambang, terbang,  berputar, melingkar,
mendarat dan terbakar. lalu bau sengak

menyeruak di udara. malam dengan cahaya
memendar ke mana-mana. dengan panas
yang gegas, yang beringas


--------------
Budi Hatees, kelahiran Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Menulis sajak dan buku kumpulan sajaknya Narasi Sunyi (1996).


Fajar Sumatera, Jumat, 5 Juni 2015




No comments:

Post a Comment