Friday, December 4, 2015

Sebatang Pohon yang Tegak di Seberang Jalan

Cerpen Adam Yudhistira



PEREMPUAN itu duduk diam seakan-akan sedang berpura menjadi batu. Matanya terkunci pada satu titik yang entah apa. Ia menekur, sesekali matanya berkedip. Sesekali pula ia memijat dada, memukul-mukul kepala, dan selebihnya, ia diam seperti batu. Perempuan itu bermata sendu. Pancaran matanya berkata: hidup adalah sebuah luka, luka yang sudah membusuk di dalam dada dan kepala.

Dari pagi sampai senja, perempuan itu duduk berjam-jam di depan rumahnya. Tidak ada sepotong kata pun yang meluncur dari mulutnya. Aku sering mencuri-curi pandang, berharap ia akan bernyanyi atau tersenyum, seperti dulu saat sedang menyiram bunga-bunga. Tetapi tidak, sepertinya perempuan itu lebih menyenangi diam dan berpura-pura menjadi batu.


Sajak-sajak Budhi Setyawan

Iman

serupa laut yang pasang dan surut
dengan deburnya membersitkan haru
perasaan pun membukit dan melembah
di antara gemuruh tafsir cuaca

angin dunia rajin mengirim ucapan
seperti belai kekasih lekapkan hangat
memerangkap napas hari hari
ke dalam pagut degup yang lena

di sepanjang pantai usia
tuhan
terlupa dalam suka
tersebut dalam duka

Purworejo, 2014

Friday, November 27, 2015

Gelombang Burung-burung

Cerpen Tjak S Parlan

BARDEM membuka jendela kamarnya. Di luar, cuaca lebih nyaman dengan gerumbul-gerumbul awan seputih kapuk, dilatari biru langit pada angkasa yang terbuka. Sinar matahari yang lebih teduh, memberikan kilau pada bulir-bulir air sisa hujan yang tertambat di rerumputan dan reranting perdu.

Angin menjelang sore terasa segar. Meski begitu, Bardem tak ingin membiarkan dirinya keluar rumah tanpa jaket dan sepatu boots. Baru sehari  ia terlepas dari serangan demam. Lagi pula ia tak mau repot-repot mendengarkan seisi rumah mengomeli dirinya.

Di rumah sepi. Pak Brandon—ayahnya Bardem—pasti sedang mengawasi kuda-kudanya di dekat bukit. Bu Sophia— ibunya Bardem—mungkin sedang di istal, mengerjakan apa saja seperlunya: membersihkan kotoran kuda, memukul-mukul sesuatu dengan palu, menyapu, apa pun, Bu Sophia selalu begitu –atau mungkin di rumah Bibi Maria, menemaninya menyulam. Dan, Minka? Minka datang lagi rupanya. Ini liburan kedua kalinya setelah setahun lalu Minka tinggal lebih lama di rumah Bibi Maria. Minka selalu senang mendengar Bardem bercerita tentang burung-burung.

Sajak-sajak Christian Heru Cahyo Saputro

Pasar Gudang Lelang

rembang fajar di gudang lelang
layar terlipat perahu berjajar
sandar melego jangkar
hiruk pikuk pedagang, tengkulak, juragan
dan teriakan juru lelang
memecah pagi yang gigil
:  lamat-lamat terdengar suara anak-istri memanggilmanggil
   semalaman doa dan harapan  mereka dedahkan padaMu

pagi ini,
setelah semalaman mengakrabi laut
berpeluh melempar sauh
ikan-ikan segar numpuk berjajar
dikera juru lelang
ditukar uang

Friday, November 20, 2015

Nadran

Cerpen Aris Kurniawan


BAGIKU tak ada yang menarik di kampung kelahiranku. Kampung yang selalu tampak berantakan dan bau amis. Di setiap rumah selalu mengonggok tumpukan jala, jaring-jaring untuk menangkap ikan, bentangan terpal yang membuat sumpek. Ditambah tali jemuran pakaian yang malang melintang bagai karnaval tujuh belasan. Jika hujan lorong-lorong di kampungku tak ubahnya kubangan kandang babi berwarna hitam. Tanpa alas kaki kami lalu lalang di sana, di antara lapak-lapak yang terbuat dari papan dan bambu dengan terpal sebagai atapnya yang sewaktu-waktu bisa terbang dihempas  angin. Hampir seluruh tetanggaku—termasuk ibuku—adalah penjual ikan. Mereka menghamparkan ikan-ikan—baik ikan segar maupun ikan asin—di lapak pinggir jalan. Teriakan menawarkan dagangan, tawar menawar, deru kendaraan adalah kebisingan khas yang kami nikmati saban hari. Suami-suami mereka—termasuk ayahku—setiap malam bekerja di lautan menangkap ikan.  


Sajak-sajak Naim Emel Prahana

Tamu Kesepuluh
- bumi dan bencana

Pagar bambu
di jalan debu
lelaki memburu
bulan tertutup asap
di percakapan rindu
buruan diskon

lalu pagi itu
duduk di depanku
pemburu berlari
lupa harinya
jemari yang sibuk
ingatkan penghuni
penari pagi
bumi dan bencana

Friday, November 13, 2015

Rumah Masa Lalu

Cerpen Risda Nur Widia


USAI pensiun sebagai guru sekolah dasar Lasmi menetapkan hati untuk tinggal pada sebuah desa di pinggiran kota Rangkasbitung. 60 tahun ia saat ini. Genap usia yang tak lagi bertenaga, tetapi matang pendirian untuk memastika pilihan hidup kalau: ia hanya ingin menghabiskan sisa umurnya pada sebidang tanah yang dibelinya dahulu dengan harga murah. Tak terlalu luas memang. Namun di sanalah ia mendirikan sebuah pondok kecil. Sederhana. Penuh dengan kenangan. Dan pintal harapan masa tua yang menenangkan.
   
Ada sebuah nisan orang tercinta di belakang rumah itu. Makam suaminya. Lasmi menguburnya di bawah pohon gandaria; pohon tua yang telah ada sebelum Lasmi membeli tanah tersebut. Sejuk tempatnya. Sering pula Lasmi menghabiskan waktu luang hanya untuk duduk di sana sembari memerhatikan cakrawala. Apalagi ketika malam musim kemarau. Betapa angin begitu berharga; langit berdandan gulita dengan beribu-ribu intan; derik-derik serangga malam; dengung suara anak-anak kecil yang mengaji di surau. 


Sajak-sajak Muhamad Arfani Budiman

Partitur Senja

dalam alunan senja
jemari angin menjatuhkan
daun-daun di taman lalu rindu
bermuara pada bayang wajahmu
yang melompat dari balik cermin
inikah kesedihan bergelombang
tanpa batas dengan jemarimu
kau usap setiap potret waktu
ruap doa bergema dalam lorong sunyi
menyusup dalam riak-riak cahaya

2015



Friday, November 6, 2015

Yang Semakin Hilang

Cerpen Yuli Nugrahani


SEBELUM aku bertemu Rino, aku sangat suka berada di sekitar Bioskop Megaria. Gedung putih ini selalu menarik, entah untuk melewatinya, nongkrong di depannya, atau apa saja. Melihatnya saja sudah membuatku seperti kembali pada masa lalu, pada saat semangatku masih utuh untuk menggerakkan tubuh mudaku.

Aku tahu sejarah Megaria karena tempatnya dekat dengan rumah tinggalku. Banyak orang bilang aku ngawur mengarang cerita, tapi sungguh, aku bicara sebenarnya jika aku bilang aku tahu tentang hal ikhwal gedung ini.  Kakek buyutku adalah pemilik sebagian tanah di mana gedung itu dibangun. Walau aku tidak bisa menunjukkan buktinya, tapi memang begitulah kebenarannya.

Sajak-sajak Hudan Nur

Ekspeditor Laut Cina Selatan

hati manusia sudah disekap megalumbago di musim kemarau. anak-anaknya tumbuh menjadi berhala. setiap pagi mereka ke utara melarung masa lalu. cuaca seperti cerita nenek moyang yang telah punah.

inilah kabar hari esok bagimu, bunga liar. satu dari mereka mengirim surat kepada hari, mereka ketuk pintu langit dan menyaksikan senja yang mabuk dan gagal mencumbu rembulan. adalah kau kilang purba yang selalu lingsir dikecai gerimis kelelakiannya.

Friday, October 30, 2015

Berpisah dengan Butet

Cerpen Budi Hatees


KITA akhirnya terpisah meskipun tidak menghendakinya. Perpisahan itu berlangsung bertahun-tahun hingga saya tidak lagi punya keyakinan bahwa suatu saat kita akan bertemu. Saya pun tidak lagi mencarimu ketika pada hari yang cemerlang itu kau muncul di halaman rumah dengan niat hendak membeli salah satu lukisan yang saya buat. 

Hari itu, 1958 pada almanak. Kau pergi ke kanan, saya bergerak ke kiri.  Saya ingin ke kanan, tapi sebuah kekuatan memaksa agar saya ke kiri.  Kau tahu kekuatan itu?  Moncong senapan SS diarahkan ke punggung saya. Saya tahu tak ada peluruh pada magazin, tapi saya ketakutan bukan main. Bukan karena senapan serbu itu, tapi karena orang yang memegangnya, yang mengarahkan moncongnya ke punggung saya, adalah Ja Soimbangon.


Sajak-sajak Tjahjono Widarmanto

Delapan Esai: Percakapan tentang Puisi
*) mengenang Seamus Heaney

1/
tempayan selalu menyediakan perutnya menampung segala air
demikian pun puisi menyediakan baris dan baitnya menampung
air mata luka dan duka kehidupan yang tak sekedar jasmaniah
menampung segala ketegangan dan kejemuan antara yang kuno dan baru

2/
setiap kali puisi disabdakan ia akan menetes bagai air
kadang lembut dan hening melampaui isyarat meditasi
menanggalkan dahaga dan menyiram mekar bunga
kadang pula bagai badai yang gelisah menampar pantai
mengguncang benda-benda menghempaskan teka-teki

Friday, October 23, 2015

Sementara Tiga Orang Terus Bersama

Cerpen Bayu Pratama

MAMA terus berteriak dan Nani terus menangis sementara di tempat yang lain Marko terus menghela napas dengan sangat berat.

Mama sibuk memungut pecahan kaca yang berserakan di lantai. Telunjuk tangan kirinya sobek, dari sana darahnya yang merah segar menetes mengotori lantai yang putih –seputih kebohongan Nani. Nani menjongkok di sebelah Mama, bimbang antara ikut memungut pecahan kaca atau menyeka keringatnya. Toh Mama sebenarnya tidak peduli pada hal itu, tapi Nani tetap bimbang sementara Marko terus menghela napas dengan sangat berat di tempat lain.

Nani tidak merasa bersalah. Manis (kucing peliharaan di rumah ini) berlari seperti biasa dan Nani hanya ingin bermain dengannya. Dia melempar bola dan gulungan benang wol, sampai tidak sengaja melemparnya ke dekat meja. Sebuah foto keluarga menunggu di sana, terlihat lama dan tanpa warna. Manis yang kehilangan kendali tubuhnya menabrak kaki meja dengan sangat lucu –ah, betapa lucunya kucing itu. Foto tanpa warna itu terjatuh. Nani tahu, Mama akan meneriakinya jika melihat hal itu. Tapi Nani tidak merasa bersalah. Manis sepantasnya bermain dengan lucu, jika tidak lucu maka dia lebih baik menjadi kucing pasar saja. Burik dan bau. Sesuatu yang lucu memang dibutuhkan di mana saja, termasuk di dalam sebuah keluarga, tanpa perlu peduli apakah dia merusak sesuatu atau tidak.


Sajak-sajak Isbedy Stiawan ZS

Tak Ada Esok di Kalendermu

seperti tak ada esok
di kalendermu yang sobek
maka kau bikin lagi
tanggal dan hari -- kau
abai membubuhi
waktu -- sehingga
jam tak mencatat
kematian ini. lalu senja
semakin lamur. asap
mengabut. pandangmu
mulai padam

Friday, October 16, 2015

Kakek Buta dan Kucingnya

Cerpen Gunawan Tri Atmodjo

DI pengujung mataku yang rabun, seekor anak kucing mendatangi rumahku. Anak kucing berkelamin jantan dan bermotif kembang bengok alias loreng-loreng kelabu, hitam, putih itu masih liar. Aku memberinya daging ayam secara berkala dan lama-kelamaan kucing itu menandai kebaikanku. Ia mengakrabiku dan menjadi hewan piaraanku.

Anak kucing itu menjadi teman bagi kesendirianku. Ia menyelamatkan sisa hidupku dari kesepian. Ketika kau sudah tua dan sebatang kara, kesepian bisa terasa sangat kejam. Tentu aku tak kesepian saat isteri dan anakku masih hidup. Akan kuceritakan sedikit kepadamu mengenai mendiang isteri dan anakku.


Sajak-sajak Imelda Matahari

Sore Itu di Sumur Batu

Mataku masih menatap Sumur Batu
Entah sumur berbatu
Atau batu bersumur

Di sini wangi tanah pertama kali kuhirup
Dari balik jendela
Setiap pagi dan senja

Sore yang belum terlalu gelap, setelah 20 tahun
Seketika mataku tertumbuk bebatuan di Sumur Batu

Friday, October 9, 2015

Kisah Terompah

Cerpen Tjak S Parlan


IA masih menyimpan benda itu: terompah usang yang pernah membekaskan luka jahit di keningnya. Itu sore hari, ketika ia berteriak girang memanggil Mak. Ia merasa kehausan sehabis mengejar layang-layang bersama kawan-kawannya. Haus yang seperti itu alangkah nikmatnya jika dibawa menikmati es cendol yang selalu mangkal di dekat jembatan.

“Mak, bagi uangnya. Haus sekali, Mak!”

Mak sedang berselonjor di dipan. Di keningnya menempel selembar obat koyo. Sudah berhari-hari Mak seperti itu. Mak sering mengeluhkan kepalanya— pening, berputar-putar.

“Mak, mau es cendol.”


Sajak-sajak Edi Purwanto

Saat Paling Puitis

saat paling puitis
ketika cinta
disapa luka
airmata
menjelma kata

saat paling puitis
ketikadosa
menulis raga
kesilapan
menjelma doa

2015


Friday, October 2, 2015

Rumah yang Terbelah

Cerpen Mashdar Zainal


JENNY tak bisa berhenti memikirkan Mama dan Papa yang selalu bersikap aneh satu sama lain. Mama sangat menyangi Jenny, Papa juga sangat menyayangi Jenny, tapi Mama dan Papa tak pernah bisa menyayangi Jenny secara bersamaan.

Rumah kecil itu dihuni tiga orang: Mama, Papa, dan Jenny. Di rumah itu ada tiga kamar, satu kamar utama—yang seharusnya menjadi kamar Mama dan Papa, satu lagi kamar untuk Jenny, dan satu lagi kamar untuk tamu. Papa lebih suka tidur di kamar tamu atau kamar Jenny sesekali, daripada tidur satu kamar dengan Mama. Jenny tak ingat kapan terakhir kali Mama tidur satu kamar dengan Papa. Tapi Jenny ingat—Jenny tak akan pernah lupa pada kejadian malam itu, malam ketika di rumah terjadi keributan antara Mama, Papa, dan Om Danar.


Sajak-sajak Robi Akbar

Ibu
Ibu di sinilah kami berdiri
Dengan kerontang perut yang nyaring seperti kendang
Dengan tangis bayibayi yang terlahir dalam beban hutang

Ibu di sinilah kami berdiri
Menyanyikan nasib sial
Dan ulah anakanakmu yang nakal
Kami kencing sembarang
Yang lainnya kencing berlari dan tungganglanggang

Ibu di sinilah kami berdiri
Di gembur subur tanahmu
Yang tak dapat lagi kami tanami
Bahkan sekadar ketela ataupun ubi
Kami akan nyanyikan lagumu dengan Irama busung lapar
Retak tulang dan mayat terkapar


Friday, September 18, 2015

Penyair Dangdut

Cerpen Syaiful Irba Tanpaka


SETIAP kali mendengarkan lagu dangdut Alaysa ditumbuhi sayap. Mula-mula ia tidak menyadari hal itu terjadi. Lantaran ia hanya asyik bergoyang dan bergoyang. Bahkan bukan hanya tubuhnya; karena kemudian jiwanya juga terbetot untuk berjoget. Meliuk-liuk seirama gerakan anggota tubuhnya; kaki dan pinggulnya berputar-putar, telunjuknya teracung naik turun. Hingga ekstase.

Dan bila dalam keadaan serupa itu selalu saja muncul keinginan Alaysa untuk terbang. Maka seketika itu pula terbanglah ia ke angkasa raya. Dengan mengepakkan kedua sayapnya ia menikmati pemandangan yang terhampar di bumi. Ia membumbung tinggi, terus meninggi, hingga  ke negeri-negeri kayangan yang terkadang luput dari sentuhan cerita-cerita.

Lama kelamaan Alaysa mengerti kenapa ia bisa terbang. Itu tidak lain karena ia memiliki sayap. Ya! Sayap yang muncul secara ajaib di punggung belakangnya setiap kali ia mendengarkan lagu dangdut. Dan menghilang secara ajaib pula saat ia sampai kembali ke tempat semula, dimana ia berada.


Sajak-sajak Ayid Suyitno PS

Nurani

ada yang tak dapat dibohongi dan membohongi
ia adalah nurani yang menjadi penegak kebenaran

sekuat apapun kau menahan beban kebatilan
nurani selalu mengusik tidur nyenyak atau gelisahmu

di setiap waktu yang jernih tanpa tirai kebusukan
kau pasti paham bahasa suci itu sungguh menguasai

: mengilik-ilik
  mengetuk-ngetuk
  mendesak-mendesak
  menyeruak-ruak

Friday, September 11, 2015

Tumbal

Cerpen Mailani Suradi


SUARA sirine mobil polisi melengking seperti menggagahi telingaku. Puluhan polisi berseragam dan tanpa seragam mengepung rumah. Salah satu dari mereka berteriak menggunakan pengeras suara, menyuruhku menyerahkan diri. Mereka menodongkan senjata di setiap celah rumah. Padahal semua pintu, jendela, dan gorden telah aku tutup rapat. Listrik pun telah aku matikan. Seharusnya mereka tahu aku tidak akan ke luar semudah itu. Hanya dengan gertakan.

Aku masih diam di persembunyianku. Tanganku berkeringat hingga gagang pistol yang aku pegang semakin licin. Aku bersembunyi di bawah ranjang, berharap ada kemungkinan mereka mengira rumah telah ditinggalkan oleh penghuninya.

Sajak-sajak Dahta Gautama

Belajar Memelihara Bunga

Dik, tunggu aku di situ ya.. Di trotoar di dekat perpustakaan itu. Pinjamkan buku, sebelum kita bertemu. Bunga-bunga di halaman rumah kita layu, aku ingin tahu cara menggemburkan tanah, jenis pupuk dan memangkas ranting-ranting tua. Aku ingin belajar upaya memelihara bunga, agar tak lekas kuyu.

Friday, September 4, 2015

Tanah Lahir

Cerpen Ida Refliana YH


DI tanah itu kecemasan seperti udara yang dihirup tiap waktu. Cemas dari rasa takut dan sesal. Penyesalan yang menitiskan jejak begitu mayat sudah dikubur sebagai kematian sia-sia—mati pasrah di ujung peluru—mati ketika hamparan ladang tak punya ketela dan segala umbi untuk ditanam.

Kota kenangan itu bernama Ainaro. Ia tumbuh sebagai distrik yang dihiasi gunung-gunung dengan belantara hutan, tentu saja ai abu1 yang muncul menjelang senja atau saat subuh benar-benar letih dan membagi tugasnya pada siang. Dan, Maubisse, yang menyimpan tak terbilang senyum Inan2 dan sepasang mata elang Aman3. O, adakah waktu sudi mengembalikan kenangan? Aku rindu aroma rempah di kulit Inan, perempuan berpipi lesung yang sering menyulap segenggam kacang merah jadi semangkuk koto4, begitu nikmat. Tidak ada koto selezat buatan Inan. Sesungguhnya Inan bukan hanya wanita dapur yang pandai memasak. Bersama Aman ia mampu menyiapkan berbatang-batang kayu menjadi puluhan tombak atau panah dan busur (bagi desa Maubisse setiap orang wajib menguasai keduanya).


Sajak-sajak Novy Noorhayati Syahfida

Sepi

kautanam sepi di teluk waktu
pada jantung yang lebam terbakar haru
kaulah sebab kujatuhkan segala
di samudra dadamu yang bidang
di bibir pantai tanpa gelombang
biar lara miliki muaranya yang tenang
dalam tubuh sunyi tak bernada
segalamu bukan apa-apa, selain rindu

Tangerang, 7 Agustus 2015 (E)

Friday, August 28, 2015

Kafe De Takar

Cerpen Rifan Nazhif


BERBAGAI rayuan orang agar saya menikmati enaknya ngopi. Bahwa menyesap air kopi, memiliki seni dan ritual. Berbeda sekali dengan minum teh, susu apalagi vodka. Celakalah orang-orang yang membenci kopi!

Dan meskipun Bamby, seorang pesohor penikmat kopi, berulang-ulang mengajak saya bertandang ke Kafe De Takar, tetap saja saya menolak. Bamby sebagai pencerita yang handal, berbusa-busa mulutnya menceritakan tentang seni minum kopi di tempat tersebut. Sangat lain dari yang lain. Tapi saya bersikeras, minum kopi di mana saja, sama! Untuk itu saya tak akan mendekati kopi, apalagi meminumnya.


Sajak-sajak Sri Wintala Achmad

Pelajaran dari Ruang Makan

Seperti lebaran-lebaran sebelumnya. Ibu mengajarkan padaku, bagaimana membagi jiwa dengan cara membelah ketupat. Agar dapat merasakan duka saudaraku, sebagaimana dukaku. Merasakan suka saudaraku, sebagaimana sukaku. Terhidang di meja makan dengan piring yang sama. 

Di ruang makan, ibu selalu mengajarkan padaku. Lebaran bukan sekadar mengobral kata maaf seperti tukang rombeng di tepi jalan besar. Tetapi, bagaimana memberi ampunan dengan cara seorang pelayan. Menuangkan minuman di cangkir kosong seorang raja dengan senyuman paling mawar.

Friday, August 21, 2015

Batu Giok Kaisar Langit

Cerpen Guntur Alam
SEMALAM, Zao Ang bermimpi didatangi laki-laki tua berjanggut putih panjang. Saking panjangnya, Zao yakin janggut lelaki tua itu hampir mencapai pusar. Namun bukan itu yang membuat Zao menganggap mimpinya istimewa serta mendorongnya segera menggali tanah di samping pokok pacar cina yang ada di halaman belakang rumahnya, ketika pagi masih remang, tetapi ….

Gali di sini. Kau akan menemukan harta Kaisar Langit.
Ucapan laki-laki misterius itu yang membuatnya segera mengambil cangkul. Ibunya agak terkejut ketika melihat Zao bangun sekelam itu, terlebih mengambil pacul. Itu bukan tabiat Zao. Sejak ditinggal Bi Yu, janda yang dia cintai setengah mati itu, pemuda pengangguran yang malas bukan kepalang ini biasanya akan bangun ketika matahari hampir mencapai ubun-ubun.


Sajak-sajak Arwinto Syamsunu Ajie

Catatan Pemahaman

1
“Aku sedang menjalani kutukan,” kata batu,
“Agar dalam keruntuhan nanti
tak ada bencana yang lebih menyakitkan
selain bagian masa lalu.” Dan, batu,
merasa aman setelah bicara begitu.
Oleh sebab itu batu senantiasa diam
tak peduli di palung sepi, di dasarkali,
atau terinjak kaki sepanjang jalan.

Friday, August 14, 2015

Lelaki Sejuta Kebohongan

Cerpen Tita Tjindarbumi


LEBAM mememar masih terasa di dada saat dia muncul secara tiba-tiba di depan Melia. Lebam itu membekas meninggalkan biru yang menghitam. Aku tak pernah mimpi akan bertemu denganmu, Leka, guman Melia nyaris tak dapat membendung perasaannya. Tetetapi Melia tak mungkin  memperlihatkan wajah kesalnya saat lelaki itu mendekat dan mendaratkan kecupan di pipinya.
   
Perut Melia seperti diubek-ubek. Air matanya nyaris tumpah menahan mual sekaligus muak.

"Aku kangen..." Leka menyentuh punggung tangannya. Melia nyaris mendengus. Padahal, sebetulnya Melia ingin menghirup udara sebanyak-banyaknya.


Sajak-sajak Eddy Pranata PNP

Melepas Kepergianmu di Stasiun

ia menyibak masalalu yang ungu, langkahnya perlahan
menjemput kedatangan nyanyimu yang basah
melepas kepergianmu di stasiun hanya dengan sekali kecupan
lalu lambaian tangan serupa jerit yang tertahan
: chin; rel yang berderit dan kereta yang meluncur
meninggalkan stasiun menyisakan luka yang tak pernah mengering

jangan terlalu yakin dengan kekuatan hati, ujarnya, chin
'kita' mesti tahudiri; walau kulihat engkau selalu melukis sketsa
rumah kaca dengan sekat dari keping mimpi
hampir setiap senja, setiap pertemuan yang menyakitkan
iya; dalam posisi yang sama, dalam hati yang sama

Friday, August 7, 2015

Penyeberangan Sirin

Cerpen Kiki Sulistyo


KAPAL akan segera beranjak ketika Sirin menjejakkan kakinya di pelabuhan. Ia bergegas membeli tiket dan berlari-lari kecil ke dermaga. Penjaga tiket melihat padanya sebentar. Penjaga tiket yang bermuka manis. Sirin menduga pemuda itu pasti gemar bersolek dan repot dengan tubuhnya. Jenis pemuda yang membuatnya mual. Meski ia masih 14 tahun,  tanda-tanda kecantikan pada dirinya mulai tampak. Petugas pemeriksa tiket juga melihatnya dengan cara sama seperti pemuda tadi. Matanya seperti hendak dilekatkan ke wajah Sirin. Lebih tepatnya ke bibir Sirin.

Bibir Sirin memang ajaib, seperti buah yang belum diketahui namanya. Merekah tapi menyimpan ancaman. Sehingga siapa saja yang berniat memetiknya, mesti berpikir dulu atau mencari-cari tahu, buah apa gerangan itu. Jangan-jangan itu buah beracun yang apabila tergigit sedikit saja dapat menyebabkan kematian saat itu juga. Atau itulah si buah khuldi. Yang telah melempar Adam jauh ke bumi dan membuat manusia terlunta-lunta sampai hari ini.


Sajak-sajak Kinanthi Anggraini

Popok

tumpah dari sampan pusara
gucur air dari putra semesta
busa-busa megah berpanggung
dimana ribuan hujan ditampung

yang selalu membawa gerimis
malam hari
mengingat cahaya dan mengalah
pada pagi

saat tudung mata terbuka
di situlah pelangi berbelok
dari arahnya

selamat pagi
buah cinta alam raya

Juni 2015

Friday, July 31, 2015

Hantu-Hantu di Bukit Asam

Cerpen Hazwan Iskandar Jaya



HUTAN di Bukit Asam nyaris tak tersentuh warga dusun kami. Sejak zaman Belanda, kami tak boleh sembarang menyeruak ke sana. Jika dilanggar, bisa berujung pada kematian. Pantangan itu sudah menjadi mitos yang terus ditaati semua warga, betapa pun penasaran menyelimuti hati dan pikiran.


Bukit Asam adalah sebuah bukit dimana tambang batu bara beroperasi puluhan tahun lalu. Beberapa warga dusun kami hanyalah pekerja kasar saja. Dan itulah nasib yang harus ditanggung warga yang bukan sekolahan tinggi. Tenaga ahli hanya berasal dari Jawa, dan jumlahnya sangat sedikit. Mereka mendapat mess dengan rumah mewah di Talang Jawa, sebuah dusun dimana komunitas elit berkumpul dan memperoleh fasilitas yang menggiurkan.


Ayah hanya pegawai rendahan saja di tambang. Berhari-hari tak pernah pulang. Kadang sebulan hanya dua kali menyambangi rumah. Selalu ada yang berubah jika ayah pulang dari tambang, kulitnya tambah hitam kelam bagai arang. Hanya giginya yang putih kekuningan, mungkin juga tak pernah gosok gigi. Di tambang, katanya, tak ada yang bisa diharapkan, kecuali mandi sekadarnya. Dan makan hanya dua kali dalam sehari.



Sajak-sajak Isbedy Stiawan ZS

Jalan Sunyi   


8
PENGASAH


bagai pengasah akik
menanti hingga jadi
bergetar di jemarimu
pelan dan hatihati
kewaspadaan ilahi
mencapai hakiki
di pintu ke empat
tak lagi tersesat
berkilau sebagai akik

Friday, July 10, 2015

Ruang Terakhir

Cerpen Fitri Yani


AKU sudah berada di ruangan ini hampir dua jam sejak petugas memindahkanku dari ruang sebelumnya. Kakiku terasa linu dan kepalaku terasa pening karena udara begitu dingin dan hampir dua belas jam mereka belum memberi kami makan. Aku lebih menyukai ruangan ini dibanding ruangan sebelumnya. Memang di sana tidak sedingin di sini, tapi di sana aku kesepian dan merasa kesal karena tak ada lawan bicara. Dan di ruangan ini setidaknya ada tiga orang tahanan yang bernasib sama sepertiku.

Laki-laki kurus yang duduk di sudut ruangan bernama Bidin, ia telah menusuk lima anak kecil di bawah jembatan dengan pisau dapur dan ia dianggap setengah gila. Sementara dua laki-laki lainnya kakak-beradik Umar dan Amar adalah mantan tukan kebun yang dihukum karena telah membunuh seluruh keluarga majikannya—Kini mereka sama-sama mengenakan baju biru, bibir salah satu dari mereka hitam seperti habis dipukul. Amar yang bertubuh agak gemuk terus-menerus menekan ujung bajunya.

“Kau baik-baik saja, Amar?” tanya Bidin.

Sajak-sajak Fendi Kachonk

Belajar Menulis Puisi

Aku ingin belajar menulis namamu, puisi
dari perkara sosial sampai juga moral
mungkin dari sana tak ada lagi guncangan
tak ada pembunuhan, tak ada lagi kekacauan.

Aku ingin belajar menulis namamu, puisi
dengan kalimat-kalimat khotbah, dengan begitu
semua orang akan berduyun-duyun jadi penderma
menjadi alim seketika dan tak ada lagi tangisan
anak-anak kelaparan, pengemis dan penistaan.

Friday, July 3, 2015

Kembalinya Kapal Dapunta Hyang

Cerpen Wendy Fermana


KETIKA malam kelam sempurna, kapal hantu itu muncul ke atas tanah. Bilah-bilah dayungnya mengayun depan-belakang menggerus tanah. Tak jauh dari situ, sebuah sumur tua yang sudah lama ditutup tiba-tiba menyemburkan air.

Lelaki itu mengintip dari balik gorden jendela rumah, mulutnya menganga, berkali-kali ia mengusap mata, tidak percaya dengan apa yang sedang terhampar di hadapannya. Kapal itu memancarkan sinar kuning keemasan. Cahaya terangnya yang begitu indah membuat rembulan dan gugusan bintang di langit malam itu seolah malu untuk menampakkan diri, dan lebih memilih bersembunyi dalam pelukan awan hitam pekat.

Lelaki itu menyibak gorden lalu menutupnya lagi, berulang kali. Ia berusaha meyakini hal-hal ganjil yang disaksikannya itu khayalannya belaka. Tapi itu benar-benar nyata. Angin malam berhembus halus menegakkan kuduk. Napasnya tersenggal demi melihat semua itu.

Sajak-sajak ASaS UPI

Renungan Malam 1

Aku teringat kau Litaniar
sekuntum mawar yang senantiasa mekar
sepeti fajar, hari demi hari
rinduku menderu
seperti kaum barbar
memangsa orang
masa lalumu

Disini
dikedai sunyi ini
aku memikirkan cara terbaik
untuk membunuh kenanganku


Friday, June 26, 2015

Anak-anak Kesayangan Tuhan

Cerpen Aris Kurniawan


KATA-KATA ibu kami benar belaka, di sini kami lebih baik. Bisa terbang seperti kupu-kupu yang tak menginginkan apa-apa lagi, termasuk ayam goreng. Kupu-kupu yang tak memerlukan bantal dan selimut untuk tidur. Untuk apa kami berebut ayam goreng, jika rasa lapar dan ingin itu sudah tak ada; kenapa pula harus berdesak-desakan di tempat tidur bila ruang tidak lagi berdaya mengurung kami. Kami mengepakan-ngepakkan sayap, meluncur ke sana kemari. Kami memang harus menahan sakit luar biasa sebelum sampai ke tempat ini. Tapi rasa sakit itu tak berlangsung lama. Hanya beberapa detik setelah ibu membenamkan kepala kami satu persatu ke dalam bak mandi.

“Mari, nak,” kata ibu kami sambil sambil membopong kami dan memasukkan kami ke dalam bak mandi yang airnya jadi meluber oleh tubuh kami, “tahan sebentar,” kata ibu kami lirih dan terdengar samar di telinga kami. Air matanya berlinang. Sejenak kami melewati ruangan yang sangat gelap setelah ledakan rasa sakit di dada kami lewat. Perlahan-lahan kami mendapati tubuh kami mengambang di ruangan sejuk dan lapang. Tangan kami saling bergandengan.

Sajak-sajak Kurnia Hidayati

Pebidik Tupai

angin
senapan
sepasang gaman

sebelum sampai perkebunan

dari hala utara pohon-pohon cokelat merapat
bagai barisan gelita yang menceritakan enigma
hantu penunggu kebun
yang diam-diam menepuk kuduk
jerit perempuan tanpa badan
menelisik telinga tatkala mendekati rawa

Friday, June 19, 2015

Bongkot Berlari Sepanjang Jalan(1)

Cerpen Syaiful Irba Tanpaka


BONGKOT berlari sepanjang jalan. Seperti seorang olahragawan yang membawa obor, ia melewati jala raya, melewati kota-kota, melewati kampung-kampung, melewati hutan-hutan, melewati pegunungan dan samudera. Berabad-abad ia berlari melintasi cakrawala.

Dengan nafas mendengus bagai kuda, Bongkot terus berlari sepanjang jalan yang bisa ia lewati. Pakaiannya yang semula rapih kini terlihat compang-camping tergores ranting-ranting. Tubuhnya yang semula bersih sekarang hitam kumal terbakar matahari dan dikarati debu. Tapi ia tidak peduli. Ia terus saja berlari. Berlari. Berlari. Heyyaaa...

“Apa yang kamu cari, Bongkot?” tiba-tiba terdengar suara bertanya di telinganya. Sambil terus berlari Bongkot menjawab.

Sajak-sajak En Kurliadi Nf

Kampung Kombang

begitulah kisah kampung ini sekarang
tentang tanah subur dan gembur
lagu-lagu ombak pengantar nelayan
supaya aku tahu,
hidup begitu bernafas dari keringat
airmata

tembang-tembang nemor
nyanyian dadali bersarang di jantung nadimu
perjalanan tidak berhenti disini saja
begitu melihat ke laut
di atas gelombang dan peluh badai
ada seorang laki-laki: ayah dari
anak-anak yang berlarian di ujung pesisir
sedang bertaruh nyawa demi serumpun senyum
yang sedang mereka istimewakan saat senja bertandang
di ruang tamu dan mimpi
yang menetas jadi rembulan

2013

Friday, June 12, 2015

Nicodemus van der Plas

Cerpen Arman AZ


BUKAN sekuntum mawar yang kubawa untuk Nicodemus van der Plas, melainkan sesobek kertas dari pengurus kompleks makam Kembang Kuning. Tulisan tangan bertinta hitam di kertas itu berisi petunjuk letak rumah terakhirnya. Tak ingin buang waktu percuma, aku bergegas ke tempat semula, diiringi hati yang bungah.

Pagi tadi aku tersesat berjam-jam di tengah makam Peneleh. Bagai mencari seutas jerami di tumpukan jarum, bukan mudah mencari sebuah makam di antara ribuan makam. Entah bakal makan waktu berapa hari untuk membaca setiap epitaf demi menemukan nama Nicodemus van der Plas. Kuncen uzur berbadan bungkuk ringkih itu pun bingung saat kutanya letak makam yang kumaksud. Dia akhirnya menyarankanku ke Kembang Kuning. Di sana terdata lengkap; nama dan kode makam para penghuni Peneleh. 

Di bawah sengit matahari kususuri tanah kering di antara makam-makam yang berderet rapi. Jika bukan karena penasaran yang akut, aku pasti berpikir tujuh kali untuk menyambangi tempat ini. Dalam kompleks seluas hampir lima hektar terbaring ribuan orang Belanda. Tiap makam diberi kode untuk memudahkan pencarian. Gubuk-gubuk liar berderet di sisi kiri, menempel dengan tembok dan jeruji pagar. Jemuran tergantung di makam-makam berpagar besi. Kaos, kain sarung, daster, sempak, dan kutang melambai ditiup angin kemarau. Ayam dan kambing sekehendak hati hilir-mudik, ada pula yang leyeh-leyeh di makam beratap seng.

Sajak-sajak Anam Khoirul Anam

Sketsa Retas

Tak perlu berandai-andai perihal waktu
yang terus berlalu di kepalamu. Sebab ia
akan terus berlalu dalam detak jantung
lalu berlalu terbenam dalam imajimu.

Sebagaimana ia menunjuk perhitugan
dengan tepat lewat gigil tubuhmu.
Berputar naik turun, melingkar bak ular

Embus nafas lembutmu menggesek lonceng
hingga lahirkan denting ritmis. Lalu kita sama-sama
pulas di atas alas kertas dengan seketsa retas.

Yogyakarta, 25 November 2013



Friday, June 5, 2015

Tumang

Cerpen Isbedy Stiawan ZS


MATAHARI tidak begitu menyengat.  Sungai yang membelah wilayah jadi dua bagian: way  kiri dan way kanan, arusnya amat tenang. Ikan-ikan, terutama gabus, baung, dan jenis lainnya, berenang di permukaan air.

Kami adalah satu puak  yang berdiam di tepi sungai ini. Persisnya di sekitaran Tanggo Rajo yang megah. Sebuah bangunan untuk prosesi adat, bagi puak . Kami hidup berjejer membelakangi sungai.

Inilah awal kampung kami. Sebuah kampung yang dititiskan lahirnya seorang raja bernama Minak Mangkubumi. Dari Minak Mangkubumi ini kemudian melahirkan tiga putra. Satu lelaki yang diwariskan segumpal tanah mendiami Pagardewa, namanya Minak Kemala Bumi yang melanglangbuana ke Pesagi, Banten, hingga Mekah.

Sajak-sajak Budi Hatees

Penepik
Aku hanya selembar kain
tak baru, tak pula lusuh
melekat di tubuhmu

Kau kenakan aku, 
penutup indah dada
dan bunting putih betismu
ketika bulan bakha
memancarkan pesona
warnanya

di halaman. pada malam
saat gamolan berdenting
mengikuti rampak tari melinting
dan angin tak dingin

Friday, May 29, 2015

Pedro yang Menghilang

Cerpen Alex R Nainggolan

SEBENARNYA aku lama telah mengenalnya. Tepatnya, ada sebagian dari kehidupanku yang pernah kuhabiskan bersamanya. Pedro, seseorang yang energik, gemar menikmati senja, tak mempersoalkan segala masalah hidup. Baginya, hidup adalah hidup sendiri. Enjoy  aja! Demikianlah ia senantiasa berucap. Tak perlu dibawa rumit, tak usah dibuat sulit. Ia orang yang enak dijadikan sebagi kawan. Dan segalanya, ketika bersamanya jadi penuh warna. Dimana ia kerap menjelma jadi spidol dengan beragam warna untuk menorehkan dalam kehidupan. Ya, kehidupanku!

Maka aku bersamanya terbiasa menghabiskan waktu luang. Acap takjub pada segala peristiwa sederhana yang lintas di hadapan. Untuk sebuah hujan yang turun, katakanlah, ia seperti membeberkan keajaiban tersendiri. Ia suka membiarkan tajam tatapan matanya berumah di antara genang air, membiarkan udara dingin membalut tubuhnya yang terhitung kurus. Bahkan berulang kali pula, ia mandi hujan! Suatu hal yang mengingatkanku pada masa kanak-kanak. Bukankah hujan kerap meninggalkan keajaibannya pada siapa saja?

Sajak-sajak Beni Setia

Pro Literasi. Jepara

kartini pandai membaca kondisi
di kesekitaran

mengungkapkannya pada bungkam
aksara lembar majalah,

pada hamparan koran, pada rahmat
yang mengeja surat

harapan sunyi yang mengembara
--kekal melintas waktu

persis seperti yang diteriakkan di
gua sunyi--baca …

2015

Friday, May 22, 2015

Misteri Rumah Tua

Cerpen Tita Tjindarbumi

DAN cerita itu pun tak berhenti sampai di situ. Orang-orang yang tidak percaya bahwa rumah tua itu berpenghuni, kini mulai merasa ketakutan. Bila saja penghuninya adalah manusia, mungkin tak membuat hati mereka kebat-kebit setiap kali melewati rumah tua yang kian lama terlihat semakin menyeramkan.

Malam kian larut. Sesekali terdengar lolong panjang anjing milik saudagar China yang letaknya tiga rumah dari rumah tua itu. Gedung tinggi berlantai tiga itu berdiri angkuh, kokoh tetapi pintunya jarang dibuka. Konon di rumah itu hidup encek tua penjaga rumah. Pemilik rumahnya jarang pulang. Hanya suara anjing yang berjumlah lima yang setiap malam ramai melolong, bersahutan seperti sedang dirundung malang. Terkadang lolongnya menyayat membuat bulu kuduk berdiri.

Sajak-sajak Aan Frimadona Roza

Di Stasiun Way Tuba

Pukul empat sore lebih dua-dua  menit adalah waktu menunggu:
Masinis menerka-nerka waktu.
Lelaki berkemeja kotak-kotak dengan ransel dipunggung hibuk pada janji-janjinya,
Wanita paruh baya dengan kebaya coklat tua duduk nanar menenteng harapan-harapan
Sementara barisan besi tua berjajar  tanpa penghujung yang jelas,
Sebab pada stasiun pemberhentian akan datang tak tentu berjumpa.
Gerimis kismis tiba saat matahari lari dari timur.
Tak ada lalu lalang.

Way Kanan, Maret 2012