Friday, February 12, 2016

Di Sebuah Stasiun yang Diacuhkan Kereta

Cerpen Daruz Armedian


BEGITULAH. Mereka akan menikah karena sama-sama saling membenci.

Lelaki itu sudah sangat membenci si perempuan sejak ia mengenalnya. Pada suatu sore yang biasa. Artinya sore yang masih menabur senja. Angin sepoi dan aroma langit biru. Di ladang tebu milik pamannya. Ladang tebu di tengah-tengah keramaian yang agaknya beberapa tahun lagi jadi sebuah kota.

Ia benci sekali melihat cara si perempuan memandangnya. Perempuan itu juga sangat benci terhadap cara memandangnya yang seperti penuh dengan aura kebencian. Pertemuan  mereka memang ada sedikit aroma ketidaksengajaan. Saat ia sedang mengulur benang layangan sambil makan tebu. Datanglah perempuan itu membawa parang. Masih dengan rambut yang diikat dua. Kiri dan kanan. Karena saat itu memang sebuah gaya rambut anak sekecil dia yang baru berumur sepuluh tahun.

Melihat gelagatnya yang aneh, lelaki itu buru-buru nyerocos.

“Kamu mau ngapain?” begitulah kata pertamanya yang sangat dibenci perempuan itu. Entah kenapa. Ia sendiri tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata.

“Mau ngambil tebu!” jawaban inilah yang membuat lelaki itu benci. Rasanya seumur hidup baru kali itu ia mendengar jawaban yang membuatnya membenci. Entah kenapa. Sebetulnya ia bisa menjelaskan dengan kata-kata. Tetapi, bukankah kadang rasa benci tak memerlukan waktu untuk menjelaskan alasannya.

Perempuan itu berjalan menujunya. Dengan langkah pelan seperti tabiat asli perempuan. Halus dan sopan. Kadang-kadang pandangannya ke arah layang-layang yang sedikit bergoyang. Tangannya masih memegang parang, seperti hendak membunuh. Seperti hendak menikam. Laki-laki itu terdiam. Bungkam.

“Apa aku boleh ngambil tebu?”

“Jangan!” sergah si laki-laki. Ada diam sejenak di antara mereka. Kalau dalam perhitungan waktu, kira-kira lima detik. “Ini ambil saja tebu yang sudah aku potong.” lanjutnya.

Si perempuan benci sekali terhadap orang yang melarang-larang. Ia menggelengkan kepala. Lalu memandang hamparan tebu.

“Ayo, jangan malu-malu.” Karena memang ia tahu kalau yang diajak bicara malu-malu. “Di dalam sana bahaya. Kamu baru pertama kali mau ngambil tebu kan?” Perempuan itu mengangguk.

“Sini, aku ceritain sesuatu.” Bujuknya sambil menarik-narik senar layangan. Si perempuan menuruti kemauan itu. Duduk di sampingnya. Dekat. Dekat sekali. Seperti sudah sejak lama mereka saling mengenal.

“Ladang tebu ini milik pamanku. Ia sering cerita kalau di tengah-tengah hamparan tebu ini sangat berbahaya. Dulu, katanya sering sekali ditemukan orang-orang mati tergeletak di sini. Ada orang bertato, ada orang yang dituduh pemberontak, ada wanita-wanita yang dituduh membuat organisasi berbahaya, dan ada banyak lagi.”

Perempuan itu benci sekali kepada lelaki yang banyak cerita. Seperti bencinya terhadap orang yang melakukan kebohongan. Sudah berapa kali ia dibohongi dalam sebuah cerita.

“Roh-roh mayat itu masih bergentayangan. Pamanku saja kalau malam sering mendengar jeritan pilu dari arah ladang tebu ini. Tapi kalau sore sebenarnya tidak ada sih. Cuma tadi aku khawatir saja sama kamu. Kamu kan baru pertama kali ke sini. Eh, ngomong-ngomong kenapa kamu berani ke sini? Bukankah ayahmu pasti melarang anaknya bermain ke tempat sembarangan? Bukankah ayahmu melarang anaknya bermain sama anak orang yang dituduh memberontak negara?” Namun, perempuan itu hanya diam.

Lelaki itu benci sekali kepada perempuan yang banyak diam. Dalam kategori berduaan, diam bukanlah emas yang gemerlapan. Tetapi logam yang sudah berkarat dan menusuk tulang belulang. Begitu menyakitkan.

Ketika yang diajak bicara hendak pergi, ia buru-buru menanyakan sesuatu, “Siapa namamu?” sudah tertebak. Pasti tak ada jawaban. Hanya senyuman pura-pura yang penuh kebencian.

“Namaku Jenar. Siapa namamu?” ia benci sekali dengan kata-kata yang diulang-ulang. Akhirnya perempuan itu menjawab dengan ketus. Karena ia benci sekali terhadap penanyaan sebuah nama.

“Eliana.”

Sungguh. Ketika Eliana pergi dari situ sembari membawa tebu, Jenar benci sekali. Ia jadi teringat nama ibunya yang juga Eliana. Ibu yang mati dianiaya banyak orang berseragam. Dan mayatnya dibuang di ladang tebu ini. Ya, ladang tebu ini.

Sampai jauh Jenar memandang punggung Eliana. Baru kali ini ia begitu akrab dengan seorang perempuan yang baru dikenal. Dan ia benci itu. Baru kali ini Eliana menemukan seorang laki-laki yang baru dikenal bisa sangat akrab. Dan ia benci itu.

Artinya, mereka saling membenci.

***

“Kita telah lama saling membenci, Eliana”

“Ya, kita sudah terlalu lama saling membenci, Jenar”

“Apa ada solusi?”

Eliana menggeleng. Selalu begitu. Jenar benci sekali orang seperti itu.

 “Bagaimana kalau kita menikah?” mendengar ucapan Jenar, mata Eliana terbelalak. Apa yang didengar kali ini bukanlah suara halilintar sebenarnya, tetapi cukup membuatnya kaget tak terkira.

“Kenapa?”

“Bagaimana bisa menikah, sedangkan kita sama-sama saling membenci?” suara Eliana pelan. Seperti kesiur angin menerpa ilalang di ladang yang dulunya ditanami tebu itu. Jenar memandang hamparan ilalang. Ilalang yang diterpa kesiur angin itu. Pelan. Serupa suara Eliana saat memberi jawaban.

“Justru itu, Eliana,” Jenar menghela napas, “Justru karena menikah barangkali kita bisa saling mencintai.”

“Tapi---” kata-kata Eliana terpotong.

“Tapi bukankah kebersamaan kita di mana-mana memang disebabkan karena saling membenci?” sahut Jenar.

“Aku tidak yakin kau akan benar-benar menikahiku. Setahuku kau sangat benci ayahku. Ayahku keamanan negara. Sedangkan katamu seminggu lagi akan berdemo besar-besaran bersama seluruh mahasiswa negeri kita untuk menggulingkan orde yang saat ini berkuasa?” pertanyaan Eliana panjang kata-katanya, tapi Jenar memahaminya. Pertanyaan Eliana retoris, tapi Jenar tetapakan akan menjawabnya.

“Aku yakin. Aku sudah punya pekerjaan menjadi editor di salah satu majalah untuk menafkahimu. Yang tidak aku yakin malahan kamu mau atau tidak. Itu saja.”

Dan di sinilah, Eliana dihadapkan permasalahan yang amat pelik sekaligus amat ia benci.

***

Atas nama kebencian. Mereka pun mengadakan pertemuan. Di sebuah stasiun yang awalnya dulu adalah ladang tebu milik pamannya. Ah, ia sampai lupa kalau di sanalah mereka pertama kali bertemu. Barangkali memang sudah terlalu lama kejadian itu berlalu. Ia bergegas mandi, padahal biasanya jarang mandi. Gosok gigi. Lalu pergi. Dan entah kapan akan kembali.

Eliana sudah agak lama menunggu. Kalau dalam perhitungan waktu, kira-kira lima belas menit. Ia benci sekali menunggu. Matanya terpaku pada sebuah kereta yang tak lekas berjalan. Orang-orang berjejalan tak karuan. Hampir sudah dipastikan kalau lebaran sebentar lagi, pasti stasiun akan berdesakan seperti ini. 

“Wajar sekali aku membencimu, Eliana. Kau adalah anak orang yang ikut andil membunuh orang tuaku.”

“Tapi tak wajar sekali aku membencimu, Jenar. Ayahmu pemberontak. Ibumu juga. Bagiku itu hanya penuduhan belaka. Tapi entah kenapa, Jenar. Aku seolah-olah membencimu!”

“Aku membencimu terlebih karena kita tak jadi menikah, Jenar. Ayahku terlalu benci pada yang namanya anak pemberontak.” tambahnya.

“Itulah yang kubenci juga, Eliana. Kenapa kita terlahir dari kasta yang berbeda?”

“Kasta?”

“Ya, kasta. Apalagi?”

“Benar juga. Tapi, sepuluh tahun sudah berlalu, Jenar. Kukira kau sudah tiada. Kukira kau tidak bersembunyi di negara tetangga. Kukira kau mati mengenaskan kena popor senjata. Kukira kau…” Eliana menangis. Jenar memeluknya. Mengusap rambut hitam panjang itu seperti di senetron yang seringkali tayang di televisi kita. “Aku benci, Jenar. Aku benci!”

“Aku benci kenapa kau datang terlambat. Aku benci kau datang setelah anak teman ayahku menikahiku. Aku pura-pura mencintainya.” Dan, Jenar kini seperti memeluk kehampaan.

Seseorang datang. Wajahnya lebih ganteng dari Jenar. Tubuhnya lebih tinggi dan gempal ketimbang Jenar. Rambutnya lebih pendek dari Jenar. Dan Jenar tahu persis itu siapa. Salah satu anak Komandan berwajah bengis! Tanpa suara seseorang yang sudah dijelaskan ciri-cirinya itu menggamit tangan Eliana tanpa kata-kata. Jenar juga tak hendak bicara.

Dua orang itu berjalan menuju kereta yang juga akan berjalan. Eliana sebenarnya ingin mengungkapkan beberapa hal, tetapi tangisnya barangkali sudah menjadi ganti. Ia terus menangis. Semakin dan semakin pilu. Jenar juga menangis, tapi dalam hati. Bukankah tangis dalam hati bahkan lebih pilu ketimbang yang meneteskan air mata?

Laki-laki itu dan Eliana memasuki pintu. Dan kereta berlalu mengacuhkan stasiun yang menampungnya seperti mereka berdua yang mengacuhkan Jenar di sana. Orang-orang yang berdesakan tak ada yang peduli bahwa air mata pelan-pelan membasahi pipinya. Tak ada lambaian tangan, tak ada senyuman. Semua berlalu begitu saja tanpa bisa diduga.

Di stasiun yang diacuhkan kereta1 ini, Jenar merasa jauh dari Eliana. Sangat-sangat jauh. Seperti masa lalu. l

Bantul, 2015
Kepada Agus Noor.


1 Diambil dari sajak Mohammad Ali Fakih


Fajar Sumatera, Jumat, 12 Februari 2016

Sajak-sajak Yoga Pratama

Jika Tahun Ini Penghabisanku

Nuansa yang indah malam ini,
ketika lelah datang kian kalah
masalah kian hilang mengaku salah.

Ingin kubangkitkan kenangan indah yang telah mati
untuk melihat yang kian menangkan tenang
kuatkan mimpi yang hendak tewas oleh sebatang kuas
alat melukis mimpiku dulu
dilangit malam yang sempat menyanjungku.

Tapi!
Aku tak tahu sejauh apa aku bertahan dengan mimpi
sekuat apa aku selami ini sendiri
ketika sunyi semakin menyiksa batinku
menuai kegilaan semakin jadi.
Sejadi-jadinya.

Kepalaku sakit
sakit sekali.
Tak mampu aku menulis dan menyisihkan kisah
aku tak sanggup
kesakitanku semakin sakit
hempas sepi semakin jadi.
Sejadi-jadinya.

Jika tahun ini penghabisanku.
Cepatlah....
Aku diam untuknya berlalu
mendiamkan yang hilang semakin hilang
mndiamkan yang datang untuk ikut menghilang.

Jika tahun ini penghabisanku
setidaknya aku tahu
bahwa hidupku hanyalah pintu perlintasan
yang hanya sekejap untuk melintas mengisi kisahmu dan tulisanku
yang kian tak menjadi apa-apa.

Jika tahun ini penghabisanku
peluklah malamku ini untuk terakhir kali
aku pamit dengan kesakitanku
menjauhimu... menjauhi mimpiku.. menjauhi yang pernah tertulis...

Akhir Desember 2015


Aku, Kau, dan HuJanuari

Apa yang pertama kali kau ingat tentang hujan
Apakah ketakutan.
Atau, hujan begitu tajam menusuk sukmamu hingga terluka.
Bagiku hujan berbicara kerinduan
aku, kau, dan kenangan yang pernah tercipta.
“Aku, kau dan HuJanuari” itu
menyapa, dalam ketakutan tentang cinta
menyapa.... menguatkanku saat terluka.

Ya,
aku lukis satu persatu
aku eja hujan yang turun dibalik rindu.

Pekat awan. Hujan datang.
Lantas, kemanakah kita.
Jalanan sepi, kian tak bertepi.
Sedangkan, kegundahaan kian menyambang;
HuJanuari perpisahan dan pertemuan.

Kelak di Januari yang akan datang
hujan akan berbicara hal yang sama
tentang “Aku, Kau dan HuJanuari”
tentang Hujan di Januari yang basahi sepi.

Jika memang hujan ini penghantar kedatanganmu
akan aku sambut dengan peluk rinduku.
Jika memang hujan ini penghantar kepergianmu
akan aku jadikan hujan sebagai pengganti dirimu
agar dinginya tetap hangat
sehangat cinta yang pernah kau sajikan.
Di HuJanuari itu.

Januari 2010


Badai dalam Secangkir Kopi


Hendak ingin memiliki
tapi takut.
Karena aku tak bisa menikmatinya.
Hanya mampu mencium aroma khasnya.

Desember 2015




De Javu

Pernah ada
pernah dirasa
pernah terasa
pernah terjadi diwaktu sebelumnya
dan semua kembali terulang
seolah hadirnya seperti biasa
karena pernah terbiasa.

Januari 2016


-----------
Yoga Pratama, lahir di Simbarwaringin, Lampung Tengah, 2 Februari 1992. Saat ini bergiat di Komunitas Malam Puisi Bandarlampung sebagai Koordinator Hubungan Eksternal.


Fajar Sumatera, Jumat, 12 Februari 2016

Friday, February 5, 2016

WC Umum

Cerpen Yus R Ismail


SEKALI waktu, masuklah ke WC Umum di persimpangan pasar dan perkantoran. Aku salah seorang pelanggannya. Entah karena apa, setiap ingin buang air kecil, aku selalu menahannya untuk dibuang selepasnya di WC Umum itu. Barangkali aku ketagihan kencing di situ.

Awalnya, saat sedang memancarkan air seni, mataku iseng menangkap banyak tulisan di dinding.

“Hidup Amran!” Tulisan dengan spidol hitam itu, besoknya ditambahin di bawahnya. “Hidup Yogi!”, “Hidup Roni!”, “Asep Juga Hidup!!”, “Pokoknya HIDUP SEMUANYA!!!”  

Pasti penulis kata-kata itu berbeda orangnya. Bentuk tulisannya memang mengisyaratkan itu. “Hidup Yogi!” terlihat lebih rapi dari yang lainnya. “Pokoknya HIDUP SEMUANYA!!!” ditulis dengan arang dan lebih besar hurup-hurupnya.

Di atas kloset yang di sudut, ada puisi dengan krayon gambar.

“Rina, mengapa cintaku kau telantarkan
aku menunggumu di depan kios ikan
sampai kaki kesemutan
nyatanya kau tlah meninggalkan

                                yang merana
                                    Ridwan”

Di bawahnya berderet komentar. “Cinta memang BAJINGAN!” “Kalau takut tertusuk duri, jangan petik setangkai mawar…” “Cengeng luh! Kalo kagak ada si Rina! Cari aja si Rani!”

Minggu berikutnya, di atas semua tulis itu ada huruf besar-besar dengan arang. “Jangan Mengotori Tembok ini Goblok!!!” Besoknya segera ada komentar di bawahnya. “Kamu yang tutulisan, anjing!” “Dasar semuanya babi, gajah, harimau, ular, tikus, dan teman2nya!!!!!!!!”

Aku tersenyum membacanya. Selalu begitu. Minimal aku selalu terhibur setelah membaca tulisan-tulisan di dinding WC Umum ini. Lebih jauhnya, setelah membaca tulisan-tulisan lainnya, aku merasa ada sesuatu yang melegakan. Seperti kebelet ingin kencing kemudian tersalurkan di tempat yang tepat.

Seperti suatu hari aku mendapatkan sebuah tulisan di dinding sebelah lain.

“HIDUUPPP ….. BURUH INDONESIA!!!!!” Tulisan dengan hurup besar itu ditulis dengan pilok. Mungkin penulisnya sudah mempersiapkannya. Karena bila tidak terencana, buat apa membawa pilok ke dalam WC Umum?

Besoknya di bawah tulisan itu ada tulisan lainnya. “Polisi Sialan!” “DPR Sialan!” “Pengacara Sialan!” “Politikus…Pasti Si … Alan!!!” “Hidup Si Alan…Budikusumah!!!” “Hidup SUSI SUSANTI!!!” “Pokonya sepanjang kaga nyenggol gue….hiduplah!!!”

Aku tidak hanya tersenyum membaca tulisan seperti itu. Aku seperti merasakan kelegaan para penulisnya. Lega oleh sesuatu setelah menyuarakan perasaannya. Meski menurutku tidak baik memaki seperti itu. Tapi di ruangan tertutup seperti WC Umum, siapapun cenderung memaki sesuatu yang di luar sana tidak bisa dimakinya.  

Minggu berikutnya ketika aku pulang bekerja, tulisan lainnya terbaca.

“Menteri... Ketua Partey... Ketua MK... KORUPSI... fuck you!!!!” “Teroris adalah penuduh teroris!!” “AMERIKA tai kucing!!!”

Di dinding sebelah lain ada tulisan yang berbaris ke bawah.

“RAKYAT Sekarat!!!

KONGLOMERAT main sikatt!!

PEJABAT Hidup nikmatt!!”  

Besoknya di bawah tulisan berbaris itu berjajar juga tulisan yang sama berbaris ke bawah. Aku rasa tulisan respon itu tidak selalu komentar. Temanya malah berlainan. Tapi bentuk tulisan seringkali hampir sama.

“Pencuri kecil dipenjara!!!”

Pencuri besar kaya raya!!!”

“Yang miskin makin miskin

Yang kaya makin kaya!!!”

“Salah sendiri luh...

Mau jadi orang miskin!!!”

Dan sederet tulisan lainnya yang males rasanya untuk dipindahkan  seluruhnya ke cerita ini. Karena terlalu banyak. Karena terlalu memuakkan. Tapi anehnya, aku senang membacanya. Seperti ada sesuatu yang terlepas. Seperti ada yang membantu meneriakkan kemuakan.

Hampir setiap hari aku menemukan tulisan baru. Mulai dari sekedar pernyataan bahwa si penulis pernah singgah di WC Umum itu sampai caci-maki seperti “Partey Brengsek!!!!” atau gambar porno wanita telanjang atau orang bersetubuh.

Aku tidak tahu siapa saja penulis tulisan-tulisan itu. Karena setiap orang yang masuk ke WC Umum itu, sepanjang yang kuperhatikan, selalu berwajah tenang. Datang grasa-grusu (mungkin kebelet) dan keluar dengan wajah menampakkan kelegaan luar biasa. Penampilan luar memang seringkali berbeda dengan gejolak di dalam.

Sehari menjelang hari kemerdekaan, WC Umum itu akan dicat oleh penjaganya. Semua tulisan hilang. Tapi besoknya, ketika orang-orang bersiap-siap upacara bendera, akan terbaca tulisan baru:

1945: MERDEKA ATAU MATI!!!

2016: SENGSARA ATAU KORUPSI!!!

Itulah tulisanku yang setiap tahun selalu bernafsu menjadi penulis pertama WC Umum itu. []


Fajar Sumatera, Jumat, 5 Februari 2016

Sajak-sajak Fitrah Anugerah

Selingkuh

Senantiasa aku selingkuhi malam
dengan cumbu pijar warna lampu kota
lalu kulumuri tubuh dalam aneka wangi kejalangan.

Aku tahu tangan akan merayap,
merayap temukan engkau
bersemayam di atap gedung

Bulan memohon pada kukuh gedung agar mengusirku dari pintu lantai pertama.
tapi mulutku terlepas dari busur kembaraku. Meluncur menjadi perintah bagi awan.
Arakan awan menikam bulan lalu penjarakan di ruang asing langit.
Oh bulan menangis sesenggukan, meratap pada pintu pagi

Begitulah aku perlakukanmu pada tiap pertemuan di atap gedung
Aku rasa engkau jatuhkan airmata bagai air terjun di alur jalan kota,
Aku lumuri gedung dengan bening dukamu. Tapi engkau gentayangan
dari tiap atap gedung menggariskan duka pada pendar wajah iklan

Dan aku sibuk membuka wajahku yang pekat berlumur
lalu kubersihkan wangi kota dengan air mata batin
luka menempel di putih hati menjadi noktah warna-warni,
tapi aku akan selingkuhi pijar kota dan merayap mencari engkau.

Bekasi,13-01-2015



Kelahiran Tak Diharapkan

Ingatkah saat lautan
uapkan panas lalu kau ingin
melayang ke langit. Temui bocah
sendirian bermain di awan berpasir

Dia akan kering bila kau tak hadir
punggung mulusnya dijilat matahari
yang tahu dia sendirian, tak berayah dan ibu

rengkuh. Gendong, dan bawa dia ke gundukan awan
yang matahari tak pernah bisa mengejar walau hanya
menyapa saja

Ingatkah uap rindu yang kau layangkan berkumpul di kering awan
mengumpul menjadi telaga.bocah itu tersenyum lalu menyelam
di kedalaman mencari jejak ibunya.
matahari lelah menunggu di tepian dan bulan memanggil dia

Bocah itu menangis tak temukan jejak ibunya
Bocah itu tumpahkan air telaga melacak lagi
jejak ibunya. tapi kosong dan air tertumpah
ke lautan yang surut. Oh dia akan turun ke bumi
menuruni tangga pelangi bila terbit pagi

Ingatkah jika pagi surutkan mimpimu
: mendengarkan rengekan bocah yang melihat pasir pantai

Sebab bocah itu ingin bermain bersama karang
yang menyimpan kepiting nyasar.
Bocah itu ingin menuju laut mengejar ombak
yang pernah membawamu hilang

Bekasi, 21-12-2015



Bila Engkau Pergi

Bila engkau telah temukan dua sayap
engkau pasti pergi seiring mentari
yang ngajak arungi langit.

Engkau melebur dalam angan tak terbatas
lalu berumah di ketinggian mimpi
lepas dari perangkap bumi
lalu waktu buatmu rindukan kembali
pada manisnya.

Kiranya tetes hujan membuka kenangan
engkau yang menghilang menjadi pelangi
berwarna-warni taburkan senyum,
tergaris di langit berikan sedikit damai
namun kau mesti kabur bila mentari muncul

O sedih itu masih menyisa
membanjiri seluruh ruang sepiku
mengendap di lenggang waktu, mengental pekat.
Sudah tak ada lagi secangkir kopi dan ceritamu
di meja buatku di malam ini, di waktu hujan. 

Bekasi, 13-01-2016


Ibuku yang Kesepian

Ibuku yang kesepian di hari sore
merintih pilu saat pergiku
bagai angin hantarkan tetes air ke jendela rumah
dia tunggui malam di antara terang bintang
berharap ada kabar memecah sepi hati

Sang bulan telah menelan aku
lalu deru angin enggan memberi kabar
aku terlampau jauh meninggalkannya
tapi kau masih menjaga harapan

Ibu yang kesepian di hari pagi
lihatlah aku pulang, membawa airmata
dari pengembaraan teramat lelah
lalu kusiram pada jiwamu yang layu
oleh waktu. Oh kiranya ibuku bangun
tapi kau sudah terlalu tua untuk menungguku

Bekasi, 25-12-2015


Bapakku

Di atas bumi kesederhanaan kau tanam perhatian
menetes dari setiap harapan yang kau tunggu setiap malam
setelah kami tertidur. Tercurah gerak pada setiap jalan waktu
kau jaga kami hingga tumbuh lalu berbuah
kau rubuh menghilang tertutup rimbun kembang

Kau bapakku goyangkan kerinduan ini
pada malam mengikat ranting semangat ini menjadi kaku
lalu siang mekarkan angan di setiap hembus angin. Kau hanya cerita
terasa jauh tapi kucium bijibiji yang tlah tertanam
oh ku mau tumbuhkan harapan tapi terasa jauh
jauh dari bumi tempat kau menanam

Kau bapak arah waktu buatku lari dari tempatmu berdiri
pergi nuju ufuk terbit mentari. Ada kesepian
diantara panggilanmu. hilang seiring panas cahaya
aku datang padamu dari bumi yang sudah tak sederhana lagi.

Bekasi,17-12-2015


---------------
Fitrah Anugerah, lahir di Surabaya, 28 Oktober 1974.  Berkesenian atau berpuisi semenjak menjadi anggota Teater Gapus, Sastra Indonesia Unair. Sekarang bergiat di di Forum Sastra Bekasi (FSB). Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai media dan antologi bersama.



 Fajar Sumatera, Jumat, 5 Februari 2016

Friday, January 29, 2016

Upaya Membunuh Umaya

Cerpen Atanasius Rony Fernandez


NIAT itu muncul semenjak saya melihat Umaya duduk sembari berpegangan tangan dengan seorang lelaki di acara musik yang diadakan di warung kecil. Musik mengalun menembus dinginnya malam yang saat itu tengah diterangi cahaya bulan bulat penuh. Para penonton seperti terbius oleh musik itu, tapi di telinga saya suara petikan gitar si penyanyi terasa seperti ujung jarum yang menusuk gendang telinga saya tepat ketika mata saya menangkap sosok Umaya yang kini menaruh kepalanya ke bahu lelaki di sampingnya.

Pandangan saya hanya tertuju kepada Umaya yang kian lama kian rekat dengan lelaki itu. Saya tak begitu mempedulikan suara-suara di sekitar saya, suara-suara yang ditangkap oleh telinga saya lebih mirip suara dengung lalat, dan dalam beberapa kesempatan terdengar suara seperti gesekan biola yang tak beraturan, nyaring dan sangat tajam namun sayup-sayup secara bersamaan, berputar di kepala saya.

Ada semacam bisul yang hendak meledak di dalam dada saya saat saya lihat tangan lelaki itu melingkar di punggung Umaya, menyibak dengan mesra rambut Umaya yang lurus panjang. Dan bisul itu terasa pecah mengeluarkan nanah saat sekelebat saya lihat Umaya mengecup dengan gerakan cepat pipi lelaki itu, meninggalkan luka tak terlihat di dalam dada saya, perihnya hampir membuat kantung mata saya tak kuasa menampung air mata.

Tentu saja saya tak punya alasan yang cukup kuat untuk marah atau bersedih melihat adegan itu. Saya bukan siapa-siapanya, dan bahkan Umaya tak mengenal saya. Kami bertemu, atau tepatnya saya yang melihatnya dua minggu lalu di tempat ini. Acara musik yang rutin diadakan setiap malam minggu di warung ini senantiasa menghadirkan banyak orang yang tak saling mengenal.

Pernah dalam sebuah kesempatan di warung ini, ada seorang bule entah dari negara mana datang saat malam minggu. Ia berbadan tinggi besar, berambut kriwil-kriwil mirip mie instan kering berwarna merah dan agak lepek, ia berpakaian lusuh seperti khas para gipsy. Para penonton yang kebanyakan pribumi begitu terpukau melihat bule itu datang. Bule itupun diminta menyumbangkan lagu. Ia mau dan mulai memetik gitar dengan sangat cepat dan bertenaga. Setelah mendengar petikan gitar dan suaranya, telinga saya seketika terasa seperti terkena pukulan godam.

Dan pukulan godam itu terasa sampai ke dada saya saat muncul niatan untuk membunuh Umaya. Dorongan itu terasa begitu kencang saat mereka—Umaya dan lelaki di sebelahnya—kian rekat seperti ada lem yang menyatukan pakaian yang mereka kenakan.

***

Saya menyeret kaki saya menuju dapur warung itu. Para pengunjung yang jumlahnya puluhan orang terlihat seperti patung-patung pasir, yang dengan hembusan angin saja bisa menghapus kehadiran mereka. Dari panggung sederhana, lagu sendu sedang didendangkan mengiringi seorang penyair membaca puisi suram. Udara dingin terasa giris, cahaya bulan seakan tertutup awan mendung musim penghujan. Tiba-tiba penyair itu berteriak, menghentakkan langkah kaki saya yang seketika melangkah dengan cepat menuju meja dapur dan mengambil pisau dan dengan gerakan loncat seperti kecoa menuju tempat duduk Umaya menikam dada kirinya hingga kaus ketatnya bersimbah darah. Dengan adegan supercepat melebihi kecepatan cahaya, semua adegan itu diakhiri dengan suara lolong penyair yang menyayat telinga.

Ah, seandainya saja itu dapat saya lakukan. Sayangnya tak ada musik suram dan penyair muram, udara tak begitu dingin dan awan sedang cerah karena ini bulan Agustus, bulan di saat para pendaki gunung berjalan menuju puncak gunung tanpa takut diserang hujan yang berlarut-larut. Terlebih lagi, saya hanya berdiam diri duduk di bangku yang jaraknya tiga rentangan tangan di belakang bangku Umaya. Khayalan tentu saja mudah dilakukan, karena hanya ada di dalam kepala saja.

Parahnya, semenjak saya melihat Umaya untuk pertama kalinya dua minggu lalu, saya seperti terhipnotis oleh kecantikannya. Rambut panjangnya sudah barang tentu menggambarkan aura keanggunan, dan parasnya yang sangat cantik, mungkin jika bisa diibaratkan mirip kecantikan Kleopatra yang bisa mengguncang keagungan Julio Cesar. Saat itu, saya beruntung mendengar ia dipanggil dari jarak yang cukup jauh, sehingga teriakan orang yang menyebut nama Umaya membuat saya bisa memastikan bahwa ia memang bernama Umaya.

Saya tak berani mendekat kemudian berkenalan dan meminta nomor hapenya atau kontak-kontak lainnya, saya merasa tubuh saya menciut menjadi batang korek api saat harus berdekatan dengan Umaya. Mau tak mau, setelah saya melihatnya untuk pertama kali, membuat saya menghabiskan waktu online saya—yang sangat lama—hanya untuk menelusuri seseorang yang bernama Umaya. Akhirnya saya temukan seseorang dengan wajah yang mirip dengannya, dengan akun facebook bernama Umaya Aliani. Saya seperti menemukan sebongkah emas dalam sekantung beras.

Emas itu benar-benar saya dapatkan setelah saya telusuri lini masa akunnya. Ternyata ia seorang penulis puisi atau mungkin penyuka puisi, banyak sekali ia menulis puisi-puisi di akunnya dan mengutip puisi milik para penyair; kau lupa bagaimana cara membaca buku dan menembakkan peluru ketika duka dan lara menyergapmu begitu lugu, ah, bagus sekali salah satu puisi yang dikutipnya itu.

Selain cantik, ia juga penggemar puisi. Itu membuat saya kian tertarik. Foto-foto di akunnya saya salin ke komputer jinjing saya, dan saban malam saya tatap gambar itu dengan dada yang terasa memberat. Ia seolah hidup dan mewarnai mimpi-mimpi saya dengan warna-warna yang tak pernah ada di muka bumi; asing dan tak mampu digambarkan.

Dada saya kerap kali bergemuruh saban kali ia menulis atau melakukan apa saja di akunnya, membuat saya bernafas lebih cepat dan berat. Tubuh serasa melayang-layang. Perjumpaan kita ialah perihal gelap dan terang, aroma cuka dan luka berpapasan sehasta kira-kira.  Itu pasti puisi untuk saya. Ia pasti menulis atau mungkin mengutip dan ditujukan kepada saya. Sepertinya ia juga memperhatikan saya saat pertama kali saya lihat, saya cukup yakin, karena waktu itu mata kami sempat bertemu walau hanya kurang dari sedetik saja.

Mata saya kembali tertuju kepada Umaya dan lelaki di sebelahnya. Saya benar-benar kecewa, ternyata ia sudah memiliki kekasih. Saat saya menelusuri akunnya, ia tak pernah menulis status berpacaran. Itulah yang membuat saya membencinya dan menimbulkan keinginan untuk membunuhnya. Jika tubuhnya ditikam kemudian bersimbah darah, lalu dipotong di setiap lekukan tubuhnya, tentu saja sebuah tindakan pembalasan yang cukup tepat, bukan?

Hanya saja saya masih kebingungan dengan cara melakukannya. Membunuhnya adalah satu-satunya cara paling tepat untuk mengubur rasa cemburu. Saya memang terlihat begitu aneh dengan memendam dendam pada orang yang tak saya kenal dekat dan tak memiliki hubungan atau keterikatan yang menjadi alasan kuat mendendam. Tapi dalam setiap urusan cinta, terkadang tak perlu banyak alasan dalam bertindak.

“Kamu mau ke mana?” tanya orang di sebelahku.

“Mau pinjam pisau di sana,” saya menunjuk dapur dan menjauhkan diri dari orang di sebalah saya itu.

Saya berjalan sedikit terhuyung, suara seperti berdenging halus mengitari otak saya. Saya mengambil pisau di dapur warung, tentu setelah berbasa-basi dengan pemilik warung yang sudah cukup saya kenal.

Dunia terasa sedikit berputar dan agak bergoyang setiap kali saya langkahkan kaki saya menelusuri setiap hasta menuju tempat duduk saya tadi. Saya melangkah ke bangku kosong di sebelah seorang perempuan berambut panjang. Deg, di sebelah saya ternyata Umaya, dan saya sedang memegang pisau untuk menikamnya. Sebenarnya saya hendak menikamnya dari belakang saat penonton mulai bubar. Kenapa saya malah duduk membawa pisau di sebelahnya?

“Kamu kenapa bawa pisau sampai berkeringat seperti itu?”

“Kamu Umaya?”

“Hah?” dahinya berkerut, menjadikan matanya agak menyipit.

“Iya, kamu Umaya, saya suka puisi yang sering kamu tulis di statusmu,” entah ada kekuatan apa yang membuat saya begitu lancar dan nyaman berbicara seperti itu.

“Hei! saya kan memang Umaya, pacarmu. Itu puisi-puisimu yang saya kutip, kan?”

Aduh, ia sangat pandai berbohong. Saya benar-benar hendak menikamnya. Secepatnya. []


Fajar Sumatera, Jumat, 29 Januari 2016